Mudik Ditemani Banaspati di Gunung Pegat Wonogiri

Gunung Pegat punya cerita~ Satu persatu barang sudah masuk ke dalam tas ransel.

“Sal, aku pamit ya,” ucapku.

“Ati-ati, Bro,” jawab Faisal sembari menyalami tanganku.

esuai rencana sebelumnya, malam ini aku akan pulang ke Pacitan. Meskipun kali ini akan berbeda dengan sebelumnya. Biasanya aku pulang dari Semarang di waktu pagi.

Perjalanan dari Semarang ke Pacitan menggunakan sepeda motor setidaknya memakan waktu enam jam, belum termasuk mandheg-mandheg alias istirahat. Berangkat di waktu pagi memiliki tujuan selain memang suasana yang lebih segar, berangkat lebih pagi maka waktu tiba di Pacitan akan lebih awal.

Maklum, perjalanan Semarang-Pacitan tak cukup ramah dilalui pengendara sepeda motor sendirian. Apalagi di malam hari. Alasannya, ada beberapa rute tanpa penerangan, diperparah dengan jalan yang sudah rusak di tengah hutan belantara pula.

Salah seorang temanku asli Wonogiri pernah menceritakan tentang seramnya hutan belantara jalur Solo-Pacitan, hutan itu ada di Kawasan Gunung Pegat. Ada banyak cerita menyelimuti gunung yang konon dapat menyebabkan pengantin baru bercerai kalau berani melewatinya.

Salah satu cerita yang kondang di gunung pegat adalah kisah sopir bus yang kecelakaan di salah satu tikungan gunung pegat karena diganggu makhluk halus. Pasca kecelakaan tersebut banyak kejadian ganjil mengganggu pengendara yang melewati tikungan tersebut.

Salah satunya yakni adanya pengendara sepeda motor yang membonceng pocong berdiri di belakangnya. Kejadian ini disaksikan oleh penumpang satu bis malam yang kebetulan melewati jalur tersebut di waktu yang sama.

Meski Gunung Pegat akrab dengan cerita-cerita mistisnya, tetap saja tak menyurutkan niat saya pulang malam itu juga.

Kowe yakin mulih saiki? Iki wis jam sepuluh lho,” ucap Faisal lagi.

Ra popo, aman kok. Sekali-kali mulih wengi ben ono bedane,” jawabku sambil tertawa.

Pulang malam bukan berarti aku menantang cerita mistis atau makhluk halus yang “mungkin” sedang menungguku di jalan. Berkendara di malam hari (khususnya pengendara sepeda motor) setidaknya dapat menghindari teriknya sinar matahari pada siang hari.

Ditambah lagi, berkendara siang seringkali mendapatkan “teman perjalanan” berupa kendaraan berat seperti truk gandeng sampai tronton yang semakin membuat hawa panas semakin panas. Pokoke nggak nyaman lah. Motivasi inilah yang membuatku jauh lebih nyaman berkendara di malam hari.

Singkat cerita, setelah selesai memeriksa isi tangki, mesin, dan barang-barang bawaan lainnya, berangkatlah saya bersama motor matic kesayangan jam sebelas lebih

Sesuai dengan perkiraan, jalanan sangat sepi, hanya ada satu dua kendaraan yang berlalu. Jalur Semarang-Pacitan setidaknya melewati lima kabupaten: Salatiga, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri.

Saking sepinya jalanan malam itu memancingku untuk memacu mesin motorku lebih cepat. Semarang-Solo yang biasanya ditempuh dengan waktu tiga jam, kutempuh dengan waktu hanya dua jam saja.

Memasuki Kabupaten Sukoharjo kusempatkan mampir di salah satu warung angkringan di pinggir kota, perbatasan Sukoharjo-Wonogiri.

Aku melirik ke tangan kiriku, jarum pendek di jam tanganku sudah hampir menyentuh angka satu. Melihat ada pemotor yang sendirian tengah malam begini memancing rasa penasaran Tukang Angkringan.

Badhe ten pundi mas?” tanya Tukang Angkringan.

“Pacitan, Mas,” jawabku singkat.

“Lho, tengah wengi ngene, Mas?” tanyanya.

Nggih, Mas. Lha wonten nopo?” aku balik bertanya.

Atos-atos lho Mas, Wonogiri akeh dalane sing peteng, mengko nek kenopo-kenopo malah bahaya,” ujarnya lagi.

Insya Allah alon-alon, Mas. Gak ngebut,” jawabku lagi.

Sing akeh dongane, Mas. Mugo-mugo wae sampean slamet tekan tujuan,” ujar mas-mas angkringan dengan wajah sedikit takut.

Suwun, Mas. Sampean wedi to, Mas?”

Nggih wedi, Mas. Lha wingi koncoku enek sing diganggu!” ujarnya sedikit berbisik.

Heh, ngawur sampean, Mas,” ucapku sambil tertawa.

Pokoke sing ati-ati, Mas,” ujarnya lagi.

Setelah membayar wedang jahe dan nasi kucing yang sudah tandas, aku pun pamit. Tak lupa kuucapkan terima kasih karena sudah memberiku wejangan. Yang sebenernya wejangan tersebut justru membuatku makin takut.

Cuk pancen!” umpatku dalam hati.

Setelah melewati pusat kota Wonogiri yang terang-benderang, akhirnya tiba juga di jalanan yang hampir tidak ada sedikitpun penerangan di sisi kanan-kirinya.

Aku berhenti sejenak di sebuah pos kamling, mengambil hape dari saku lengkap dengan headset.

Kuhidupkan musik keras-keras dengan headset menempel di kuping. Aku bertujuan menghilangkan rasa takut dengan musik.

Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 01.47, angin gunung mulai menusuk daging, merembes hingga ke tulang. Tak adanya satupun rumah warga di pinggir jalan menandakan bahwa aku sudah memasuki kawasan Gunung Pegat. Tak ada pikiran jelek apalagi pikiran kotor.

“Bismillah,” ucapku dalam hati. Gak mungkin mungkin juga kalau mbatin di dalem pantat kan.

Tak ada semenit aku membaca basmallah, tetiba ada sebuah benda serupa bola terbakar melayang begitu saja melewatiku. Hati yang tadinya tenang jadi hancur berantakan, bulu kuduk langsung meremang.

“Ya Allaaah, opo kae mau?!” Aku ngomong sendiri.

Tiba-tiba musik dari hape berhenti. Diamput! Batinku makin nggak karuan.

Dengan suasana ketakutan tersebut, aku masih mencoba untuk tetap memacu sepeda motorku. Berhenti di tengah kegelapan hutan akan jauh lebih horor. Dengan mental setengah matang tersebut akhirnya perjalanan malam berlanjut.

Eh, baru mau melaju, bola terbakar yang tadinya cuma lewat, tiba-tiba saja muncul beberapa meter di depanku.

Wasuuu!!” Aku berteriak sambil memacu motorku.

Kejadian ganjil tak berhenti, belum lama ngegas motor, tiba-tiba lampu motor padam tanpa sebab. Padahal lampu motor baru ganti, alias masih baru kinyis-kinyis.

Bajingaaan, jancuk tenan iki!” umpatku.

Di tengah kegelapan itu akhirnya aku berhenti. Mengeluarkan handphone, menyalakan layarnya untuk penerangan. Kulanjutkan perjalanan malam itu dengan kecepatan tak lebih dari 20 km/jam. Ditemani suara jangkrik dan terkadang siulan burung, entah burung apa nggak tahu. Tak ada yang ganjil.

Baru merasa bersyukur karena gak ada yang ganjil, eh tiba-tiba terdengar di telingaku dengan jelas ada suara orang nangis.

Iki sopo sing nangis ning tengah alas sih, kok nggapleki ngene,” aku bergumam sambil celingukan.

Ditemani suara tangis bombai ini kutetap teguh berjalan melalui kegelapan dengan bantuan penerangan layar hape. Namun, agaknya ada yang kurang senang dengan sifat cuekku.

Ketika melihat ke depan, dari sisi kiri ada sebuah sesosok putih dengan rambut hitam panjang menyentuh tanah. Posisinya seperti orang yang tangannya mendekap kedua kakinya. Kedinginan.

Mulanya aku pura-pura tak tahu kalau ada makhluk yang menganggu perjalananku.

Kuwi watu, kuwi mau watu pokoke, aku ra ndelok setan,” batinku mencoba mensugesti diri sendiri.

Si Kuntilanak nampaknya makin gak setuju dengan batinanku. Ia benar-benar tak suka disamakan dengan batu. Kenapa bisa aku berkesimpulan begitu? Karena si embak-embak putih tersebut tiba-tiba ada di tengah jalan lengkap dengan mukanya yang merah tapi gak membentuk wajah. Lebih mirip kaya tumpukan daging.

Melihat ada sesosok makhluk di depanku, setirku langsung kubanting ke arah kiri yang mengakibatkan motor matik kesayanganku mblungsruk dan nyungsep ke semak-semak. Bau anyir menerpa hidungku yang masih tiduran, tertindih motor.

Makhluk tadi sudah hilang dari tengah jalan, namun tiba-tiba dari atas kepalaku melayang Mbak Kunti dengan wajahnya yang tak terdefinisikan tersebut. Tanpa komando tanpa peduli apapun, aku langsung lari searah dengan jalan aspal. Saking paniknya motor dan tasku kutinggalkan begitu saja di tempat.

Modal lari tanpa melihat belakang, akhirnya aku tiba di perkampungan. Kuputuskan untuk beristirahat di salah satu pos kamling.

Baru duduk gak sampai setengah jam, adzan subuh sayup terdengar. Salah seorang warga mendatangiku.

Soko ngendi, Mas? Kok raine wedi ngono? Awake reget sisan,”

Anu, Pak... Kula bar dioyak setan,” jawabku dengan napas terengah-engah.

Setan endi, Mas?” tanyanya sambil tertawa.

Setelah kujelaskan kejadian yang menimpaku, Bapak tersebut mengajakku sholat berjamaah kemudian ditemani oleh beberapa warga aku kembali ke lokasi di mana motorku nyungsep. Tepat di sebuah tikungan, di sisi kanan tikungan ada besi pembatas jalan yang sudah hancur.

Wah, Mas, bejo sampean isih urip. Iki nggon kecelakaan maut wingi. Durung suwe,” ujar salah satu warga.

Setelah mampir di kediaman salah satu warga untuk beristirahat sejenak, kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan siang hari yang jelas, bukan malam hari.

Salah satu perkataan warga yang paling aku ingat waktu itu adalah; “Untung sampean ndusure arah ngiri ya, Mas. Nek mbanting setir nganan ya wis embuh nasibe sampean...”.
Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan