Setan Kolong Ranjang

Kolong ranjang gelap emang tempat asyik buat main anak jin~

Sebuah rahasia akan saya ceritakan melalui tulisan ini. Saya harap, cerita ini bisa jadi pelajaran untuk pembaca atau atau setidaknya bisa kalian ceritakan kepada orang lain sebagai peringatan.


Kejadian ini terjadi ketika saya duduk di kelas 2 SMP, tahun 2000. Hidup di desa yang cukup jauh dari kota, kehidupan saya bisa dibilang cukup menyenangkan. Tanpa gadget, kami anak-anak kecil desa sudah sangat bahagia ketika waktu sore kami habis untuk bermain layangan atau sekedar mengadu tanah liat.


Meski tanpa gadget, bukan berarti masa kecilku tanpa teknologi. Acap kali, kami mendatangi rumah kepala dukuh untuk numpang nonton televisi. Kepala dukuh adalah satu-satunya orang yang mempunya televisi kala itu.


Film-film klasik dengan aktor legenda macam Barry Prima, Boneng, Dana Christina dan tentu yang paling ikonik, Suzanna sudah seperti makanan tiap harinya.


Suzanna selalu memiliki nilai lebih dibanding seniman drama lainnya, hawa kengerian dari pesonanya seperti tak tertandingi siapapun. Kehadirannya seperti membuat penonton mau tak mau bergidik saat melihatnya. Tak ada satupun film miliknya yang tak bisa membuat saya bergidik, bahkan ketika film tersebut bukanlah film horor.


Pada suatu sore, saya bersama tiga orang kawan menonton film yang dibintangi Suzanna berjudul Malam Satu Suro. Saya yang biasanya menutupi mata ketika adegan setan keluar, kali ini memberanikan diri melihat penampakan setan yang diperankan Suzzana dalam film tersebut.


Hantu sundel bolong yang diperankan Suzanna dalam film tersebut memang begitu meninggalkan kesan di ingatan saya. Bayangan tentang ssesosok perempuan mengenakan pakaian khas berwarna putih, bermuka pucat dengan punggung yang bolong seperti tak mau hilang dari dalam kepala.


Hingga malam harinya, bayangan sundel bolong Suzanna seakan tak mau pergi. Ingatan ngerinya suzanna terbawa hingga menjelang waktu tidur datang.


Hal ini pulalah yang membuat saya semakin takut dengan bagian bawah ranjang alias kolong, bayangan sebuah tangan hitam keluar dari kolong ranjang memang berkesan di imajinasi saya. Sejak saya masih kecil, saya selalu membayangkan kalau kolong ranjang yang gelap adalah tempat yang dihuni oleh sosok yang menyeramkan. Bayangan saya tentang hantu di kolong kasur bukan tanpa alasan.


***


Dulu saya sekamar dengan kakak saya. Ranjang saya sendiri memiliki semacam almari di bagian kepalanya, sehingga jika ranjang itu didempetkan ke dinding, ia tidak bisa benar-benar merapat ke dinding, salah satu sisinya akan menyisakan celah yang cukup lebar.


Saya kebagian tempat yang bersebelahan dengan celah tersebut. Apabila malam tiba, sering saat saya sukar terlelap, kerap kali terdengar suara seperti ada yang memukul-mukul lantai dari bawah tanah. Tepat di bawah ranjang.


Duk.. duk.. duk..


Awalnya, saya kira itu hanya imajinasi saja, meski hampir tiap hari suara itu muncul. Akhirnya saya yakin, tidak mungkin imajinasi bisa terbentuk secara berulang terus menerus.


Hingga suatu malam, saya putuskan untuk menanyakan hal itu pada kakakku.


"Gak ada, mungkin cuma bayanganmu aja," ujarnya malam itu.


Setelah itu, tak sekalipun aku bertanya lagi kepada kakakku, aku menganggap Ia benar. Mungkin imajinasiku saja yang terlalu ketakutan dengan hal-hal mistis yang sebenarnya tak benar-benar nyata.


***


Malamnya sepulang dari masjid kampung, seperti biasa aku sempatkan untuk berkumpul bersama keluarga. Keluarga saya selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul saat malam menjelang tidur.


Jam 9 malam, waktunya terlelap, dengan bayangan si sundel bolong masih menyergap dalam kepala. Baru saja saya merebahkan diri, suara pukulan dari kolong kasur kembali mengganggu.


Duk.. duk.. duk..


Masa bodoh lah, saya mau tidur. Batin saya.


Duk.. duk.. duk..


Suara dari bawah kolong kembali lagi.


Rasa sebal bercampur penasaran memuncak. Saya beranikan diri untuk bangkit dari ranjang, melongokkan kepala ke kolong kasur.


Jantungku berdegup, keringat dingin mengucur di kedua tenganku yang mencengkeram sisi kasur. Ada sepasang mata melihatku dari kegelapan kolong kasur. Saya ingat benar, matanya merah, menatap dingin kepalaku yang menggantung di bibir kasur.


Penerangan seadanya membuat pemandangan dari kolong kasurku hanya menampilkan dua mata, tak lama kemudian ia menyeringai, menampakkan mulutnya yang hampir selebar setengah meter.

Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan