Cerbung Horor Teror Gantung Diri (1): “Nak, Izinkan Ibuk Mengajakmu Pergi..”

Sebuah teror beruntun, nyawa orang tak bersalah menjadi tumbal~ Artikel ini pernah tayang di DNK.ID *Tinggal kenangan

Ningrum kembali meniupi pawonnya sembari beberapa kali mengipasinya. Seperti biasanya, siang menjelang sore, Ningrum menanak nasi untuk keluarganya. Sudah lebih dari empat bulan ia harus menanak nasi menggunakan dandang di rumah orang tuanya.

Sejak ditinggal pergi oleh suaminya, Ningrum memang lebih memilih tinggal bersama orang tuanya di Wonogiri. Putri semata wayangnya Rahma, yang masih berusia tiga tahun, juga ikut serta dengannya. Sesekali ia terlihat melamun di dapur yang hanya beralas tanah dan dinding berbahan bambu. Segalanya mulai reot dimakan rayap—termasuk mungkin jiwa Ningrum.

“Ngopo to nduk? Kok ngelamun ning pawon?” ucap ibu paruh baya dari balik pintu.

Tangan Ningrum berhenti menata kayu kering di mulut pawon. Dengan cepat ia berdiri, tak menghiraukan tumpukan kayu kering dan blarak di hadapannya.

“Mboten kok buk, namung kelingan Rahma mawon. Kok jam sementen dereng mantuk,” jawab Ningrum dengan lembut kepada ibunya.

Ibu kandung Ningrum, Suminten, sudah beberapa kali memergoki putri semata wayangnya melamun. Wanita yang tahun ini usianya menginjak kepala enam tersebut mengusap lembut punggung Ningrum. Ia sadar betul, Ningrum bukan lagi putrinya yang lima tahun lalu ia kenal. Terlebih sejak Ningrum ditinggal suaminya pergi enam bulan sebelumnya.

Memorinya kembali memutar kenangan tujuh tahun ke belakang kala putrinya masih berstatus bunga desa dan didambakan banyak pria. Pesonanya tak hanya menyihir pemuda desanya, bahkan Suminten ingat benar ia sudah empat kali menolak pinangan dari tetangga desa karena Ningrum tak cocok dengan pilihan yang datang.

Hingga akhirnya, pilihan Ningrum jatuh pada seorang pemuda perantau yang datang dari kota pinggiran Jakarta. Meski awalnya tak yakin, Sumi hanya bisa mengiyakan kala putri manisnya yang bertahi lalat di pipi kirinya itu meminta restu untuk dinikahikan dengan dambaan hatinya.

“Nduk, kamu wes yakin sama dia?” tanya Sumi.

“Nggih buk, mas Reza nggih jujur wonge. Ibuk paring restu to?” Ningrum balik bertanya kepada ibundanya. Ia meninggikan suaranya, tak bermaksud marah, hanya ingin meyakinkan sang ibu bahwa lelaki pilihannya adalah yang terbaik untuk membina keluarga bersamanya kelak.

Ningrum pun memutuskan nikah muda.

*** Waktu terasa singkat. Kebahagiaan Ningrum muda yang sedang dilanda cinta mulai mencapai usia satu tahun pernikahan. Ia dan suami diberi karunia seorang bayi perempuan yang akhirnya dinamakan Rahma. Semuanya berjalan mulus, hingga gelagat suaminya mulai berubah saat Rahma berusia tiga tahun.

Sang suami yang berjanji menyayangi Ningrum hingga ajal mulai sering tak pulang. Bahkan, acapkali pulang, ia hanya mendaratkan tamparan ke wajah Ningrum. Pernah sekali sang suami menghantamkan kursi plastik kepada Ningrum hingga kursi tersebut patah menjadi beberapa bagian.

Darah mengucur dari dahi Ningrum. Namun meski mendapatkan perlakuan kasar, Ningrum masih merangkak dan mencium kaki suaminya.

“Sampun mas, ughh, sampun, ngapunten,” Ningrum meringis meminta ampun kepada suaminya. Dari balik pintu, Rahma menyaksikan kedua orang tuanya menampilkan drama sadis. Matanya kosong, ia belum bisa merasakan sedih. Hanya bisa diam.

Hingga akhirnya, suami yang begitu ia sayangi menghilang bak ditelan bumi. Meninggalkan ia dan putri mereka satu-satunya. Hati Ningrum hancur, pikirannya melayang. Perasaan yang semula penuh dengan angan-angan, tiba-tiba hancur. Semuanya benar-benar kacau.

Di tengah pikiran yang kalut, ia memutuskan untuk pergi, kembali ke rumah ibunya untuk menenangkan diri.

***

Tok tok tok.

“Assalamu’alaikuum,” suara gadis kecil memecah perbincangan Ningrum dan ibunya.
“Wa’alaikum salam. Soko ngendi wae to nduk?” Ningrum menjawab salam Rahma seraya menarik lengan kecilnya.

Berulang kali diusapnya kepala kecil milik Rahma. Sumi yang melihat keduanya hanya tersenyum. Dalam hatinya, ia berharap kebahagiaan keluarga kecilnya tak cepat berlalu, setidaknya hingga ia mati.

Jam dinding rumah Sumi menunjukkan jarum pendek di angka tiga. Selepas azan asar, Ningrum kembali ke dapur yang bangunannya terpisah dari bangunan utama rumah ibunya. Ia berniat memeriksa nasi yang Ia masak.

Sementara itu, ibu dan bapaknya masih sawah. Ningrum tak ikut karena keadaan hatinya masih tak menentu.

Jarak dari rumah utama ke dapur memang dekat, sekitar lima meter. Ningrum pun keluar dari bangunan utama rumah ibunya, dan kebetulan berpapasan dengan Jumantri, tetangganya yang umurnya tak jauh dari ibunya.

“Lho, Ningrum. Kok neng kene, wes suwe to? Bojomu gak mbalik? Sing sehat yo, gausah digagas wong lanang ngono. Ora bejomu entuk bojo ngono kae,” Jumantri menyahut Ningrum, namun dengan cepat langsung berlalu.

Ningrum hanya membalasnya dengan senyum, kecut. Dalam senyumnya, ia menyimpan dendam, sakit hati, dan menyalahkan diri sendiri atas perlakuan tetangganya. Ia merasa rendah diri atas kegagalannya mempertahankan rumah tangga.

Di tengah kekalutan pikirannya sendiri, Ningrum seakan mendengar suara di dalam kepalanya. Memberinya jalan keluar dari semua masalah yang menerpanya, melewati semua hal yang membebani diri dan keluarganya.

Ningrum berbalik, ia menarik Rahma yang sedang asyik bermain dengan boneka jeraminya.

“Nopo buk? Arep nangndi?”

Berulang kali Rahma bertanya pada ibunya. Namun Ningrum hanya menjawabnya dengan senyum dan tetap menarik lengan anaknya. Ia mencengkeram lengan anaknya yang semakin lama semakin menguat dibarengi wajahnya yang muram.

“Buk.. sakit..,” Rahma mengeram. Cengkeraman ibunya terlalu kuat.

“Nduk, genduk melu ibuk ya? Pokoke manut ibuk ya? Ojok takon-takon,” Ningrum memperingatkan anaknya dengan senyumnya yang paling manis. Meski begitu, Rahma justru malah ketakutan. Ia tak seperti sedang berbicara dengan ibunya. Rahma pun hanya bisa mengangguk pelan.

Ningrum pun mengambil tali tambang kecil dari bawah lemari kayu yang ada di dapur. Ia memotong tali tersebut menjadi dua, masing-masing sepanjang satu meter. Ningrum tersenyum, raut wajahnya menggambarkan kepuasan.

“Iki wes cukup,” batin Ningrum.

Ningrum kemudian mengaitkan kuat tali tambang tersebut di kayu genteng dapur. Setelah dirasa siap, Ningrum meraih tangan anaknya.

“Ayo nduk, sini Rahma duluan,” sahut Ningrum pada putri tunggalnya. Rahma meraih tangan ibunya dengan perasaan takut. Tapi dengan lembut Ningrum menggendong putrinya, mengaitkan tali tambang berdiameter kurang dari lima sentimeter itu ke leher putri kesayangannya.

“Nduk, tunggu ibu ya. Ibu sayang sama kamu,”

Ningrum melepas tangannya dari tubuh putri mungilnya.

“Ngghhh.. huuk.. bukk.. ngghh.. heghhh..,” Rahma mengeluarkan suara terputus-putus, nafasnya tersenggal, tangannya berusaha meraih ibunya. Ningrum memandang putrinya dengan seksama, kurang dari satu menit tubuh mungil putri kaku di menggantung di depannya. Ningrum tersenyum.

Selanjutnya, Ningrum mengambil kursi untuk pijakan lebih tinggi, kemudian mengaitkan tali lainnya ke lehernya sendiri, tepat di samping kiri putrinya yang telah terbujur kaku. Ningrum memastikan semua sudah sesuai dengan harapannya.

“Pak, buk. Ningrum nyuwun ngapunten,” Ningrum berbicara sendiri disambut tendangan kedua kakinya ke kursi pijakan.

Leher Ningrum yang telah terikat dengan tali, merasakan sakit berkat tarikan bobot tubuhnya oleh gravitasi. Ia mulai kehilangan kesadaran pada detik ketiga belas. Di detik kelima belas, tubuh Ningrum mulai kejang-kejang. Menggantung.

Tubuhnya pun mulai kaku, lidahnya menjulur. Satu menit kemudian, tubuhnya meronta. Tubuh Ningrum serasa tak seperti miliknya sendiri. Ia menolak kemauan Ningrum untuk mati menggantung.

“Khaaak.. haak.. hegg..,” Ningrum yang semula bertekad bulat dengan keputusannya menggantung diri, entah kenapa sempat menyesal sebelum akhirnya benar-benar kehilangan kesadaran.

Wajah Ningrum yang menggantung mulai berwarna ungu kemerahan. Liur Ningrum keluar dengan sendirinya, mulutnya mengeluarkan air kental. Lidahnya menjulur keluar. Tubuhnya yang terus meronta mematahkan tulang lehernya sendiri. Ningrum benar-benar mati pada menit keenam.

Sementara itu dari balik jasad Ningrum tampak bayangan dengan wajah hitam berdiri terdiam. Wajahnya menyeringai..

Cerita Selanjutnya Bayangan Hitam Dekat Liang Lahat... Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan