Cerbung Horor Teror Gantung Diri (9 -Tamat): Misteri Gumpalan Tanah dan Rentetan Gantung Diri

Tiga gumpalan tanah dibuang, hilang sudah rentetan kendat~ Cerita Sebelumnya, Sosok Nenek Tua dan Ningrum yang Misterius...

Rohmat kebingungan, raut wajahnya mirip monyet ketulup, plonga-plongo. Tiba-tiba Ningrum memperlihatkan lehernya. Ada bekas jeratan tali, mirip seperti mayat yang baru saja memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan gantung diri.

Rohmat kembali teringat dan membatin, "Oh, iyo! Ningrum wis mati!".

Namun, di tengah kebingungannya, Rohmat diberi isyarat oleh Ningrum yang menunjuk ke bawah kedua kakinya. Ada tiga gundukan tanah di sana.

"Iku opo rum?!" tanya Rohmat masih belum paham akan isyarat itu.

Ningrum diam seribu bahasa.

"Rum?!" Rohmat kembali bertanya.

"Mas, tulungono adikmu," jawab Ningrum sembari menoleh ke arah kerumunan.

Rohmat menoleh dengan ragu. Ia bisa melihat dengan jelas adiknya sedang melayang di tengah kerumunan. Mirip layangan, tapi tanpa benang.
Sontak Rohmat berteriak melihat wajah adiknya yang mirip dengan Ningrum sesaat setelah gantung diri.

"Rohmaaan! Allahu Akbaar, Rohmaan!" Rohmat berteriak sekeras-kerasnya.

Tiba-tiba semuanya gelap.

***

Rohmat tersadar. Tubuhnya ia dapati tengkurap di pinggir jalan setapak, tepat di sebelah sepeda yang ia kendarai. Bajunya penuh keringat dan darah yang berasal dari luka di tubuhnya. Dalam keadaan bingung, Rohmat kembali berdiri, mengayuh sepedanya. Ia merasa adiknya dalam bahaya.

Setelah melalui jalanan tanpa penerang dengan hanya mengandalkan ingatan, Rohmat akhirnya tiba di depan rumahnya. Rumah yang biasanya sepi itu kini dipenuhi warga mengerubungi rumah sederhana milik keluarganya.
Dengan wajah ketakutan, bapaknya muncul dari dalam rumah.

"Soko endi wae, Mat?" tanya bapaknya.

"Onok opo iki, pak?" Rohmat balik bertanya.

Tiba-tiba bapaknya memeluk Rohmat yang masih kebingungan. Rohmat kemudian berlari tergesa-gesa memasuki rumahnya. Tepat di depan pintu tamu, terbujur kaku tubuh adiknya yang sudah tak bernyawa. Wajahnya persis dengan yang ia lihat ketika bersama Ningrum.

Rohmat mematung di depan mayat adiknya. Sang ibu yang berada di samping adik, segera bangkit dan memeluk Rohmat.

"Mat, Rohman, Mat! Adikmu,"ucap Ibunya sembari terisak.

Rohmat tak lagi mampu membendung rasa sedih melihat ibunya menangis di pelukannya. Tiba-tiba ia kembali teringat dengan apa yang Ningrum ucapkan.

"Buk, kendat teng pundi?" tanya Rohmat tiba-tiba.

Ibunya masih terdiam.

"Buk?!" Rohmat kembali memastikan.

Ibunya menunjuk ke arah belakang rumah.

"Ning wit pelem mburi omah, Mat," jawab Ibunya.

Rohmat berlalu dengan tergesa-gesa. Arif dan Bambang yang melihatnya segera mengejar sahabat karibnya itu.

"Mat, goleki opo?!" Tanya Bambang.

"Pacul!" Jawab Rohmat sedikit geram.

"Nggo opo? Nek meh nggo gawe kuburane adikmu, ning omahku enek, Mat," Arif menimpali.

Rohmat tak menggubris kedua temannya, hingga akhirnya menemukan apa yang dicarinya.

"Nek awakmu wong loro percoyo mbi aku. Ayo, melu aku, saiki!" ujar Rohmat.

Bambang dan Arif mengekor di belakang Rohmat, mengikutinya. Mereka tak berani bertanya lagi setelah melihat wajah Rohmat. Ia yang biasanya santai malam itu terlihat seperti sedang bersiap bertarung.

Ketiga pemuda itu tiba di depan sebuah pohon mangga yang salah satu dahannya masih terikat tali tambang. Rohmat memandangi tali tersebut.

"Setan asu, bajingan!" umpat Rohmat.

Tanpa pikir panjang ia segera menggali tanah, tepat di bawah tali tersebut. Kedua kawannya yang sejak tadi bingung semakin bingung melihat tingkah temannya yang sedang mencangkul seperti kesetanan.

"Ewangi aku, cok! Keruk lemahe!" ucap Rohmat.

Bambang dan Arif hanya menurut.

Setelah lebih dari satu jam, Rohmat berhenti mencangkul. Tanah yang ia cangkul sudah mencapai satu setengah meter. Rohmat lompat ke dalam liang dan tak lama kembali membawa tiga gumpalan tanah berbentuk bola.

"Tulung kancani aku guwak iki ning kali," ujar Rohmat.

***

Setelah Rohmat membuang tiga gundukan tanah tersebut, rentetan gantung diri yang terjadi di desanya berhenti, seolah seperti tidak pernah terjadi.

*Cerita ini benar-benar terjadi di suatu desa di salah satu kabupaten di pulau Jawa. Atas permintaan narasumber, baik alamat dan nama kami samarkan.
Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan