Cerbung Horor Teror Gantung Diri (4): Rentetan Kendat dan Fantasi Seks yang Terbuang

Lagi asyik berfantasi seks malah terusik bayangan hitam~ Cerita Sebelumnya, Dendam Arwah Kendat dan Tiga Gundukan di Tanah.

Paidi memegangi lengan kiri Arif yang sudah ambruk tepat di hadapannya. Ia tak mampu memberi kata-kata wejangan lagi kepada pemuda tanggung di depannya itu. Perasaannya sendiri masih berkecamuk melihat jasad menggantung, sama seperti yang terjadi pada tubuh tak bernyawa anaknya sehari sebelumnya.

Batang pohon glodokan tempat tali tertaut tak lagi mampu menahan gravitasi. Jasad Jumantri yang jatuh ke tanah menyadarkan keduanya.

“Rif, ndang lapor Pak RT!” ujar Paidi.

Arif hanya mengangguk kemudian berdiri, mengekor Paidi. Sesaat sebelum menjauh, ia melihat kembali ke jasad ibunya yang sudah mencium tanah. Mata ibunya yang ketika hidup selalu memperhatikan dirinya dengan lembut, berubah menjadi tatapan penuh amarah ketika maut menjemput.

Arif masih menangis ketika ia berbalik, tanpa tahu mata ibunya bergerak mengikutinya dengan nanar, meminta pertolongan.

***

Keranda sudah berada di pundak enam pelayat laki-laki. Arif berada paling depan, di sisi kanan dari keranda yang membawa jenazah ibunya. Matanya sayu, air mata yang tak berhenti mengalir sebelumnya sudah kering. Tapi satu dua kali Arif masih terisak.

Rohmat dan Bambang yang ikut membantu membawa keranda merasa sakit melihat teman satu tongkrongan itu belum bisa tegar pasca ibunya mati dengan cara tak biasa.

Onok opo toh jane. Kok akeh sing kendat akhir-akhir iki,” batin Rohmat.

Matahari tepat berada di ubun-ubun para pengantar jenazah. Prosesi pemakaman berjalan lancar hingga jasad Jumantri tak lagi nampak. Sudah ditelan bumi. Satu persatu pelayat kembali ke rumah. Meninggalkan tiga orang yang tersisa di samping pusara Jumantri.

Rohmat dan Bambang masih memandangi Arif yang sedang memegangi patok kayu makam Jumantri. Ia kembali merengek di depan kuburan ibunya, hal yang hampir tak pernah ia lakukan sejak menginjak usia sembilan tahun.

“Mak, ra onok opo-opo kok dadine ngene to Mak,” tanya Arif sambil terisak. Kubur di depannya tak menjawab. Tanah yang masih basah tersebut seakan hanya memandangi pemuda yang ada di depannya, tanpa bereaksi.

Sementara dua pemuda lain hanya tertunduk melihat kawannya tak berhenti menangis sejak pagi. Mereka sudah berhenti menghiburnya.

“Sia-sia saja,” pikir Rohmat.

Bambang mendekati Arif yang masih terduduk. Menepuk bahunya dengan pelan.

“Rif, diikhlasno. Sakno Mamakmu neng kubur nek mbok tangisi terus,” ujar Bambang.

Arif masih tak menggubris dua teman sejawat yang menungguinya sejak tadi. “Ayo rif, Makmu wes muleh ning Gusti Pengeran. Tugase awakdewe ngikhlasno ambek dongakno. Ayo ndang resik-resik omahmu, ngkok bengi kan Yaasinan,” Rohmat menimpali. Hatinya tak kuat melihat temannya sedih berlarut-larut.

Kali ini Arif mengikuti ajakan kedua temannya. Ia beranjak dari kubur ibunya. Rohmat menepepuk punggungnya dengan lembut, mencoba menyemangatinya sembari melirik pusara Ningrum yang tak jauh dari kubur Jumantri.

Pusara milik Ningrum utuh, tenang. Namun hati dan pikiran Rohmat berkecamuk berantakan. Ia merasa ada yang ganjil di balik kematian dua tetangganya: sama-sama kendat!

***

Janji malam untuk menelan matahari tak pernah ingkar, senja menyerbak sore menjadi gelap gulita. Matahari yang merekah merah berganti sinar rembulan yang berpendar menyibak kegelapan. Mesin motor Rohmat berhenti setelah tiba di depan rumah Paidi.

Ia termasuk orang yang datang paling awal setelah Pak RT dan dua orang lainnya. Malam ini adalah malam keduanya kenduri slametan setelah kematian Ningrum.

Kenduri yang harusnya berisi doa-doa untuk para pendahulu yang sudah mangkat dan keluarga yang meninggal, berubah menjadi arena pergunjingan ibu-ibu, khususnya yang berada di dapur.

Sebagian mereka tak henti-hentinya mempertanyakan dua kematian ganjil yang menerpa desa mereka.

Ra onok sedino wong mati kendat wes loro, iki wes genah dadi setan kabeh,” salah satu emak-emak menimpali.

Hush! Ojok ngono buk!” Bu RT menimpali sambil melirik ke arah pintu. Di dekat pintu, Sumi berdiri sambil tersenyum kecut.

Mengetahui percakapan mereka diketahui ibunda Ningrum, semuanya terdiam. Dengan canggung mereka berpura-pura sedang melakukan berbagai kegiatan. Suasana kembali sepi.

***

Lampu pijar yang menggantung di langit-langit tanpa plafon. Sedikit memberikan sumber cahaya. Tepat di bawahnya, seorang pemuda menatap kosong lampu tersebut. Ia bukan pemuda kurang waras yang mengajak berbicara sebuah lampu pijar. Ia hanya bergumam pada dirinya sendiri, tepat di bawah kayu-kayu kering usuk yang menjadi tempat merebahnya genteng yang menghitam.

“Ningrum ambek Bu Jum matine kok ngono kabeh si Ya Allah. Desoku kok aneh suwe-suwe,” gumam Rohmat pada dirinya sendiri.

Imajinasinya meliar, kembali mengingat Ningrum, gadis yang membuatnya jatuh hati lalu menghancurkan perasaanya ketika tahu ia memilih pria antah berantah dari kota. Hanya melalui khayalannya, Ia bisa menikmati paras Ningrum sepuasnya.

Ilustrasi [Yudi Sutanto]

Tak terasa otot bawah perutnya menengang, tangan kirinya mulai beraksi. Ia menikmati waktu dengan fantasinya sendiri, memainkan Ningrum dalam imajinasinya sesuai dengan maunya. Nafasnya menderu, keringatnya mengalir, hingga bayangan mesumnya dihentikan oleh teriakannya sendiri. Kasurnya basah oleh cairan kental miliknya sendiri.

Waduh, teles kabeh,” Rohmat menggumam sebal sambil memandangi kasurnya. Dari langit-langit rumahnya, sosok hitam hanya memperhatikannya tanpa bergerak sedikitpun. Makhluk setinggi dua meter dengan bulu hitam tersebut tak sedikitpun membebani kayu yang keropos tersebut. Aneh.

Rohmat menoleh cepat. Tak ada apa-apa di langit-langit kamarnya. Hanya kayu-kayu kering yang sudah dimakan usia dan jaring laba-laba berhamburan.

Rohmat menarik sarungnya, tak lama ia tak lagi terjaga, melompati realitas dunia nyata menuju mimpi.

***

Rohmat membuka matanya, tepat di hadapannya berdiri seorang wanita manis dengan tahi lalat di pipi kiri tersenyum padanya. Rohmat tertegun, tak bereaksi...

Cerita Selanjutnya, Mimpi Basah Berujung Tragis Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan