Nasib Tumbal Terakhir Ratu Seks Jahanam

Gairah nge-seks ratu ini emang nggak ada habisnya~ “Tuntaskan, Bang!” Rossa memelukku dalam peluh, sementara aku terus berusaha menahan getar di lututku.

“Bangsat, jangan sampai asamuratku kumat di momen seperti ini,” batinku.

Suara Rossa terus mengeras, sementara aku pun juga hampir mengejang.

Lalu kemudian suara pecahan kaca dan sesuatu yang berat membuatku bergidik dan semburat. Ada-ada saja di momen seperti ini.

Pria kekar itu masuk, membanting pintu, lalu kipas angin, kursi, meja, Rossa, lantas kemudian aku.

“Biadab! Aku udah percaya sama kalian! Nyatanya kayak gini?” ujarnya, lalu pergi keluar.

Rossa berdarah. Aku hampir konak. Lututku terbanting. Suara gosong membuyarkan lamunan dan kesialan kami.

“Asu. Mbak, rumah ini dibakar!” teriakku sambil menarik tubuh Rossa. Kami masih belum berbusana, lupa juga meletakkan baju di mana. Beginilah kalau bercinta tanpa rencana.

Begitulah salah satu adegan dalam film terbaruku yang bakalan tayang di bioskop beberapa hari ke depan. Judulnya Arwah Penasaran yang Terbakar.

Aku selalu berdesir tiap mengingat adegan persetubuhan itu. Rasa-rasanya Rossa benar-benar total—kali ini aktingnya sebagai kakak ipar yang mengkhianati suaminya sendiri karena rasa cinta pada adik iparnya. Lalu keduanya terbakar, gosong, tewas, dan memutuskan balas dendam. Klise sih.

Tapi kuakui benar, Rossa punya pesona itu. Film-film horor lendir kelas C bikinan studio ini memang sangat beruntung punya pemain sekelas Rossa. Minimal akting burukku dan pemain lain tertutupi.

Sebentar, mana ya Si Rossa? Bukankah semua pemain wajib datang untuk konferensi pers malam ini?

Tiba-tiba saja salah seorang kru film berlari dan berbisik ke arah si bos, yang lantas langsung menyeret kru tadi dengan mimik tegang.

Beberapa saat kemudian barulah aku tahu bahwa Rossa sudah berada di kamar mayat. Njing! Lututku bergetar keras. Rasa-rasanya asamuratku kumat. Rossa, yang beberapa waktu lalu beradegan panas denganku, dikabarkan meninggal dengan cara membenturkan mukannya sendiri di ujung lemari.

“Pas jenazahnya ditemukan, itu kamarnya bau dupa, menyengat banget!”

Aku langsung ngeri mendengar pernyataan itu.

Kematian Rossa lantas membuatku tak bisa tidur selama berhari-hari. Aku lalu berdiskusi bersama Parno, yang dalam film berperan sebagai si kekar menyebalkan, si kakak ipar, suami Rossa.

“Jadi gini, Dris. Sebenarnya aku yang dapat peran jadi adik ipar, yang akhirnya jadi selingkuhan Rossa,” ujar Parno lirih.

“Lah kenapa kau tolak? Kan peran utama? Dan.. enak pula!”

“Nah, ini karena ada adegan bercinta dengan Rossa. Aku nggak berani. Makanya produser memakai kau, sebagai artis baru,” jawabnya.

“Artis baru? Maksudnya?”

“Rossa itu ngeri, Dris. Dia bener-bener bagus pas main di banyak film horor esek-esek, itu konon katanya karena dia sudah menjual jiwanya pada memedi alias dhemit alias setan alias, whatever you name it, Dris,” jawab Parno datar dan sok keminggris.

“Jadi? Jadi No? No jangan bercanda, serius aja!” jawabku.

“Beneran. Ini udah rahasia umum sih. Kau artis baru makanya nggak tahu. Selama ini udah banyak kan film horor mesum Rossa yang ada adegan dia main seks sama pria? Rossa nggak mau setengah-setengah, jadi kau kemarin benar-benar bercinta dengannya kan? Ya semi bokep, ya walaupun softcore, sih,” ujar Parno.

“Iya, ya cuman gitu doang. Pakai kondom, kok,” jawabku membela diri.

“Bukan masalah itu, Dris. Masalahnya peran prianya selalu gonta-ganti. Dan kau tahu nggak ke mana para pemeran pria ini sekarang?” tanyanya.

Aku menggeleng.

“Nggak ada yang tahu, Dris. Nggak ada yang tahu. Kabarnya mereka jadi tumbal,” jawab Parno.

Aku diam seribu bahasa. Badanku seolah tak bisa digerakkan. Lantas aku teringat ucapan terakhir Rossa di parkiran lokasi shooting, di hari terakhir pengambilan gambar.

“Dris, kayaknya aku sayang deh sama kamu. Mainmu hebat,” ujar Rossa. “Tapi lebih dari itu, aku juga ngerasa disayang,” ujarnya sambil tersenyum, senyum yang membuatku mabuk kepayang, sampai detik ini, saat Parno bercerita dan aku sadar bahwa rasa sayang Rossa memang benar, bukan kebohongan.

Aku mungkin tidak jadi dijadikan tumbal. Tapi Rossa yang akhirnya terkena petaka. Berkorban demi diriku?

Dan esok harinya, di makam Rossa, aku tak bisa melakukan apapun selain menangis.

Cerita ini jauh lebih buruk dari film horor kelas C manapun.
Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan