Kisah Nyata Santri Gantung Diri (2-Habis): Mayat Santri Kendat dan Penyesalan

Nyatanya, gantung diri juga bisa menimpa kaum santri~ Cerita Sebelumnya, Mayat Tergantung dan Misteri yang Menyelimutinya...

Bu Halimah dan Pak Agus pun merasa heran dengan boneka yang ternyata tidak muncul di kamera ponsel. Tak lama kemudian, Pak Agus menyatakan uneg-unegnya pada Ustad Ibrahim saat melihat boneka gantung tadi pagi. Ia merasa bahwa mata boneka seakan mengikuti pergerakan Pak Agus dan Bu Halimah.

“Loh, kok Bapak nggak bilang Ibuk tadi. Pantesan tadi Bapak kelihatan aneh,” ujar Bu Halimah.

Ustad Ibrahim pun menarik napas, mengingat peristiwa kelam yang pernah terjadi di pohon itu.

“Gini Pak, dulu memang pernah ada santri yang bunuh diri di pohon itu,” tegas Ustad Ibrahim. “Dia mengakhiri hidupnya karena depresi,” imbuhnya.

Hadi dan orang tuanya pun terkejut mendengar pernyataan Ustad Ibrahim. Pak Agus pun mulai penasaran dengan kisah santri yang bunuh diri itu. Begitupun Bu Halimah, yang tak menyangka bahwa pondok yang dihuni putranya ternyata menyimpan cerita misteri.

***

Dulu, saat Ibrahim masih jadi santri pengurus asrama, ada anggota asrama bernama Bahar. Dia adalah sosok pendiam, jarang bergaul, dan tak terlalu menonjol dalam hal akademis. Ia juga terbilang jarang dikunjungi oleh orang tuanya.

Sebelum kejadian naas tersebut, Ibrahim jarang memperhatikan gerak-gerik Bahar. Meskipun Bahar jarang berkumpul bersama teman-temannya, ia selalu mengikuti kegiatan dan peraturan pondok sebagaimana santri lainnya.

Tentu saja kejadian bunuh diri itu membuat pengurus asrama dan santri yang mengenal Bahar terkejut bukan main. Pasalnya, Bahar terlihat baik-baik saja selama ini. Santri yang hampir tak pernah memiliki masalah dengan ketatnya peraturan pondok, mendadak tergantung di sebuah pohon.

Almarhum Bahar meninggalkan secarik kertas berisi pesan, seolah-olah ia sudah merencanakan bunuh diri.

“Almarhum punya masalah pribadi dengan keluarganya, terkhusus orang tuanya,” ungkap Ibrahim sembari menjelaskan.

Orang tua Bahar cenderung keras dalam mendidik. Sejak kecil, Bahar merasa selalu gagal membuat orang tuanya bangga. Tak seperti kakak laki satu-satunya yang selalu berprestasi dan juara, seringkali, ia dihukum sepulang sekolah hanya karena nilainya yang tak terlalu bagus.

Hingga puncaknya, ia merasa dibuang oleh ayah ibunya dengan disekolahkan di pondok pesantren.

Merasa tak diinginkan oleh orang tuanya, Bahar pun depresi. Ditambah lagi, orang tuanya jarang mengunjungi Bahar di pondok. Hanya sesekali saja untuk mengantarkan kebutuhan Bahar selama nyantri.

“Sebenernya Bapak sama Ibu ini bukan orang pertama yang mengalami kejadian seperti ini. Banyak wali santri yang berkunjung ke sini dan mengalami kejadian janggal seperti ini,” ungkap Ibrahim.

“Mungkin ada kaitannya dengan hubungan almarhum bersama orang tuanya,” imbuhnya.

Pak Agus pun mengangguk seolah memahami cerita Ustad Ibrahim.

“Terus kenapa nggak ditebang aja, Pak, biar nggak ada kejadian seperti ini?” tanya Pak Agus keheranan.

Memang, di lapangan pondok hanya tampak satu pohon besar. Tak seperti biasanya, pohon tunggal tersebut memiliki goresan-goresan di ujung batangnya. Seakan ada seseorang yang berusaha untuk menebangnya.

Konon katanya, sudah berulangkali pihak pengasuh mencoba menebang pasca kejadian bunuh diri itu. Namun, penebang pohon selalu mengalami sesuatu yang janggal, hingga menunda untuk memindahkan pohon itu.

Wallahua'lam bis showaab.
Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan