Bermalam di Bangsal Rumah Sakit Pinggir Kabupaten

Malam-malam ku ditemani para hantu~ Malam ini aku terbaring di salah satu kamar rumah sakit di pinggiran kabupaten. Aku tak ingat apa sebabnya, tahu-tahu kemarin siang aku sudah terbujur di ranjang di salah satu bangsal di rumah sakit.

Seingatku, terakhir kali aku masih bekerja sebagai salah satu kuli bangunan di proyek milik salah satu konglomerat di kota ini.

Sepi. Sesekali bau rumah sakit yang khas menusuk hidung. Menembus tembok-tembok putih yang mengusam. Begitu sunyi, begitu ganjil. Serupa rumah kosong yang sudah lama ditinggal pemiliknya. Aku terjaga sendiri.

Tek.. tok.. tek.. tok.., suara jarum jam berwarna merah membantuku tetap sadar tengah malam ini.

Salah satu jarum jam terus bergerak, dua diantaranya berjalan lamban, jarum paling pendek menunjuk hampir ke angka satu, sementara jarum jam lainnya ada di angka sebelas. Keduanya seakan membuat sudut yang lancip.

Tengah malam berlalu, bangsal ini terasa makin pengap. Rasanya ruangan ini seakan mau menyekapku dengan suara rintihan dari pasien yang semakin mengganggu.

"Bajingan," teriakku dalam hati.

Sayup-sayup, suara seseorang air yang diguyur ke dalam kloset memecah keheningan. Seorang pasien—perempuan tua— yang ranjangnya berada paling ujung, dibantu keluarganya untuk buang air, kemudian perlahan ia kembali ke dalam selimutnya.

Aku sedikit melirik pada keluarga yang menemani perempuan tua itu. "Oh, keluarga bahagia," batinku.

Di balik semua itu, di bawah kesadaran makhluknya malam ini, kematian menggeliat semangat. Ia seperti mengintip manusia di setiap petikan waktu yang dilaluinya. Ia menunggu, hingga waktunya tepat, ia mendatangi mereka dengan cara yang unik. Tanpa pengampunan. Dan pada detik itu, satu-satunya hal yang menjadikan segalanya lebih baik adalah menyebut nama Tuhan.

Bangsal yang kutempati bukanlah kamar inap berkelas. Dalam ruangan 7x6 meter,enam pasien saling berhimpitan. Ranjang pasien yang satu dengan yang lain hanya dibatasi korden berwarna biru langit yang tak bisa sepenuhnya menutupi pemandangan antar pasien. Lantainya lawas, berwarna putih agak keabu-abuan.

Aku benar-benar bisa melihat seorang pasien di seberang bilik sesekali menggigit bibirnya, kemudian mengerang kesakitan. Sementara, yang lain terlelap dalam mimpi mereka. Nafasnya yang berat sungguh mengusik ketenangan malam ini. "Ngik… ngiiik," napas pasien itu bagai tambang kematian yang ditarik-ulur oleh si pencabut nyawa.

Beberapa keluarga pasien yang ikut menunggui membuat ruangan ini semakin pengap. Mereka terlelap serampangan. Ada yang terkapar di bawah ranjang beralaskan kloso, bersandar di tembok, ada pula yang duduk di kursi plastik samping pasien dengan kepala tertelungkup di bibir ranjang. Menunggui sesosok sepuh yang kini sudah terlelap. Setahuku, mereka adalah keluarga yang paling berisik.

Petang tadi mereka terisak-isak, bahkan ada ibu-ibu yang menangis kencang di depan bangsal. Rupanya si pasien tak bisa lagi ditolong dokter rumah sakit. mau tak mau mereka harus membawanya ke rumah sakit di kota.

"Yang jauh lebih modern peralatannya," kata si dokter.

Kudengar mereka memutuskan untuk membiarkan kakeknya untuk mati. Alasannya, mereka tak mampu lagi membiayai pengobatannya. Aku tadi tertawa kecil mendengar percakapan keluarga harmonis ini.

Entah musabab apa, malam ini rasanya seperti semakin pengap, seakan udara segar enggan masuk ke dalam bangsal. Tadi pagi, seorang pasien—lelaki paruh baya— yang terkapar di ranjang tepat di sebelah kananku meninggal dunia. Padahal, sehari lalu, ia masih berbincang denganku.

"Cuma masuk angin," ujarnya. Tapi, dua hari berlalu, kesehatannya tak kunjung membaik. Lantas, ia periksa ke puskesmas. Kata perawat di puskesmas, ia terkena angin duduk. Bukan masalah besar. Ia disarankan agar lebih baik dirawat di rumah sakit, meskipun ia sebenarnya menolak dengan alasan ia akan kembali pulih setelah kerokan.

Sejak pertama kali aku tersadar di bangsal, lelaki paruh baya itu bercerita, bahwa ia sudah menginap hampir seminggu.

"Tidak betah!" ucapnya kala itu.

Berulang kali, ia bersikeras untuk pulang. Ia berujar, dirawat di rumah sakit tidak merubah apapun. Sama-sama sakitnya lebih baik ia sakit di rumah, tidak perlu bayar, katanya. Ah, kali ini aku sependapat dengannya.

Pagi tadi sebelum ia mati, ia membangunkanku, lelaki paruh baya itu berpamitan untuk pulang ke rumah. Cepat sembuh, ujarnya sembari meringis. Aku membalasnya dengan ucapan terima kasih.

Menjelang maghrib, aku mendapati kabar Ia sudah tiada. Mencuri dengar dari salah seorang perawat, katanya Ia meninggal tanpa ditemani seorang-pun dari keluarganya. Kematian memang begitu misterius, sama misteriusnya dengan kehidupan. Tak mampu ditebak apalagi dibohongi.

***

Tek.. tok.. tek.. tok.. suara jarum jam masih setia pada porosnya. Rintihan tak lagi terdengar, berganti jadi dengkuran sialan.

Ditengah sayup-sayup menjelang sepertiga malam, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Mungkin seorang perawat yang sedang piket, pikirku. Mataku berpetualang dalam ruangan brengsek dengan lampu bangsal yang remang-remang -yang justru semakin menunjukkan siluet orang-orang di dalam bangsal.

Empat pasien ada di ranjangnya masing-masing. Melihat orang-orang ini terkapar di ranjangnya, aku benar-benar seperti dipecut fakta bahwa manusia hanyalah makhluk yang rapuh.

Keremangan cahaya memudarkan pandangan, namun menajamkan indraku yang lain. Deru suara langkah yang tadi, terdengar semakin jauh. Kukira Ia akan masuk ke bangsalku. Aku menutup mataku perlahan, memaksa kesadaranku kembali ke alam mimpi.

Tiba-tiba ranjang di sebelahku berdecit. "Oh, perawat sudah mulai merapikan ranjang. Mungkin akan ada pasien baru," pikirku.

Aku penasaran. Ku seka tirai pembatas di samping kananku. Seorang yang bungkuk memunggungiku. Baju yang Ia kenakan tak seperti seorang perawat. Samar, aku mencoba mengenali sosok itu meski dari belakang.

Ia tak seperti mengenakan baju, malah menyerupai jubah dengan tali yang terikat? Yang jelas, ia mengenakan kain yang kotor. Bau busuk. Ada noda tanah di kain yang serampangan ia kenakan di tubuhnya tersebut.

"Pak?" Ujarku pendek. Ia berpaling kepadaku.

"Oh nak, kakek kembali. Di luar sana dingin, tanahnya bau," ujarnya sambil tersenyum.
Aku meringis. Kemudian semuanya gelap.
Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan