Satu Desa Dibantai, Sungai Bau Anyir Darah

Ckckck, sungguh kejam mereka nih~ Kali ini Ki Kalagamet mengisahkan kembali, cerita yang pernah disampaikan dukun jancok, Johan Gondhokusumo sewaktu kami masih bersama di DNK dulu. Berikut ceritanya,

Kulitnya sayu. Beberapa bagian sudah mengelupas. Menua. Rambutnya putih, benar-benar putih seperti uban tapi keperakan. Suaranya berat. Rokok kretek tergenggam tak pernah putus. Beliau mungkin sudah mati saat ini andaikata tak sempat bersembunyi di area pegunungan.

Di tahun-tahun kelam lampau, kabarnya pernah terjadi satu peristiwa massal, pembantaian keji tanpa ampun yang dilakukan orang-orang dengan dibekingi tentara. Entah ada apa waktu itu, aku pun belum lahir. Tapi kejadian ini lantas melengserkan presiden berkuasa dan mengubah hidup warga kampung ini selamanya.

Sungai di tepian desa yang dulu konon amatlah jernih —dengan ikan-ikan kecil yang bahkan bisa dilihat— berubah kelam seketika pasca tragedi itu. Separuh warga desa dibawa ke sini, ditikam, dirobek kepalanya, dan mayatnya dihanyutkan ke sungai.

Ini sungai darah. Dan ikan-ikan kecil mungil tadi berubah besar, layaknya monster, mendapat jatah makan raya berupa mayat manusia. Sejak itulah sungai ini jadi terpencil dan sekarang, mentok jadi pembuangan sampah.

Pak Jumadi, pria keriput tadi, adalah saksinya. Dia memang sudah kesulitan mengingat, tapi entah, semuanya pulih lancar saat ia bercerita tentang sungai itu.

“Orang berbaju hitam-hitam, Jumain, Jumain, Abangku, dibawa. Darah, sungai merah. Hilang,” ujarnya terbata. Aku tentu saja tak begitu paham apa yang dimaksud Pak Jumadi. Sejarah selalu ditutupi. Pak Jumadi tinggal sebatang kara di tepian desa, terkucil. Satu-satunya warga yang peduli adalah ayahku, yang saat ini menyuruhku mengantar makanan ke gubuk reotnya.

Sementara itu, bendera setengah tiang selalu berkibar di kantor kelurahan tiap tanggal-tanggal ini. September otomatis selalu membawaku merasa muram.

“Orang, hitam-hitam. Hati-hati,” ujar Pak Jumadi padaku. Aku mengangguk. Lantas, Pak Jumadi mulai mencari tongkatnya, mengambil peci.

“Tolong, antar mbah ke kali, ya,” pintanya. Aku tak serta-merta menuruti. Hari sudah mulai sore. Senja sudah bersiap, menunggu muncul. Tapi Pak Jumadi sedikit memaksa.

Aku pun menyanggupi dan menuntunnya pelan. Kretek tetap di tangannya, kayu tongkat dipakainya memijak tanah. Urat-urat tangannya menggambarkan kesengaaraan. Sungai ini tak seberapa jauh dari rumah Pak Jumadi, tapi untuk beliau yang sudah berumur, rasa-rasanya ini begitu menyiksa.

Kami tiba di sungai yang pekat, penuh sampah. Cacing busuk menghampiri kakiku. Liat. Teror juga dilepaskan oleh banyaknya lintah yang berusaha mengisap kulit dalam sandalku. Aku berusaha menyepaknya.

“Darah, darah,” ujar Pak Jumadi. Aku memegangi lengannya. Langit semakin gelap. Aku belum pernah ke sungai sesore ini. Senja yang indah tiba-tiba saja terasa buruk. Suara lolongan anjing. Burung-burung petang. Menyatu getir dengan suasana lirih di sungai yang aku tak tahu sedalam apa.

Tiba-tiba saja tercium bau anyir; karat, besi. Ini bau darah!

“Darah, darah!” ujar Pak Jumadi. Aku tertegun, tak bisa bergerak. Di tengah temaram, arus sungai tampak berwarna merah. Aku langsung membimbing Pak Jumadi, meninggalkan sungai. Suara-suara jerit, pukulan, robekan, semakin nyaring di antara derit bambu dan jangkrik.

“Darah, darah,” Pak Jumadi semakin terlihat tegang.

Aku tertegun, tak mempercayai apa yang kurasakan. Apa sebenarnya yang sudah terjadi. Aku tak merasa punya indra keenam apapun, juga tak merasa ada kedekatan dengan bangsa dedemit. Tapi rasa-rasanya, ada sebuah peristiwa yang terjadi. Di sini, di sungai ini.

Mitos dari warga desa tampaknya benar. Dan dari sini aku mengerti, untuk apa bendera setengah tiang dikibarkan di kelurahan, selalu, di akhir bulan September.
Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan