Akhirnya, Operasi Pengangkatan Tumor Testis Itu Terjadi

Semoga lekas pulih dan panjang umur~
Disclaimer : Cerita ini mungkin keluar dari tema (out of topic) atau #OOT. Namun, atas pertimbangan berbagai macam akhirnya cerita ini kami publikasikan di Hororpedia.com. Mengingat subjek dalam cerita ini merupakan salah satu penggagas adanya situs ini. Terima kasih atas perhatiannya. Selamat membaca.

Cerita sebelumnya, Benjolan di Testis Diduga Tumor, Dokter Haruskan Operasi...


Pada Senin, 16 November 2020 dengan segala konsekuensi dan risiko tanpa memberitahu ibu saya karena suatu alasan yang sangat berat, saya putuskan untuk mengangkat testis kanan saya secara orchiectomy. Orchiectomy itu sendiri adalah operasi yang dilakukan untuk mengangkat salah satu maupun kedua testis seorang laki-laki. Secara umum dilakukan untuk mencegah atau mengobati penyebaran kanker prostat.


Namun, sebelum saya kembali melanjutkan tulisan ini, izinkan saya mengucapkan terima kasih kepada pemilik blog testica.wordpress.com (blog privat) yang memberi saya gambaran tentang perawatan pasien kanker testis secara gamblang.


Untuk melakukan operasi ini, tim dokter akan melakukan insisi atau irisan di bagian bawah abdomen sebelah kanan karena yang diangkat testis kanan, tepatnya berada di bagian bawah perut sebelah kanan.


Dengan segala pertimbangan, setelah saya mendatangi 2 dokter uro-oncology dan 1 dokter oncology tempo hari, mereka merekomendasikan untuk mengangkat testis kanan saya.


Selain itu, hasil USG sebanyak 4 kali dan tes darah yang menunjukkan bahwa ada dugaan kuat saya terkena tumor testis.


Semakin ditunda, dikhawatirkan akan semakin membesar dan kemungkinan penyebaran sel tumor akan semakin tinggi.


Sebelum operasi dilakukan keesokan harinya saya dianjurkan untuk "mondok" alias menjalani rawat inap di rumah sakit.


Saya bersama seorang kawan –yang tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hayat saya, berangkat ke rumah sakit di pagi hari, sekira pukul 07.30 WIB dengan harapan semakin cepat antri duluan semakin cepat pula mendapatkan pelayanan dan kamar inap.


Setelah mondar-mandir mengurus hasil lab serta bertemu dokter dan menandatangani persetujuan operasi bersama kawan saya, akhirnya saya mendapatkan kamar inap di kelas 2. Sesuai dengan standar BPJS Kesehatan untuk karyawan biasa seperti saya.


Sama sekali tidak ada obat-obatan atau alat persiapan yang diberikan pada saya menjelang operasi esok hari. Saya hanya diminta untuk berpuasa mulai pukul 2 dini hari, karena operasi pada jam 10 pagi.


Selasa, 17 November 2020. Hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba, salah satu organ reproduksi saya akan diangkat. Bohong rasanya jika saya tidak terpukul gara-gara itu.


Operasi ini merupakan kali kedua setelah dahulu ketika SD saya pernah dioperasi di bagian kepala akibat kecelakaan di jalan saat pulang sekolah.


Rasanya, tidak ada seorangpun yang ingin kehilangan organ tubuhnya. Lebih-lebih organ vital. Namun, bukankah apa yang ada di dalam tubuh bahkan ruh kita adalah milik Allah? Jadi, kenapa kita tidak bisa ikhlas ketika Sang Pemilik mutlak hendak mengambil apa yang memang sudah menjadi milik-Nya?


Sebagai hamba saya hanya bisa berdoa, istighfar, dan ikhlas melepaskan pikiran yang buruk sehingga operasi pagi jelang siang itu berjalan baik.


Operasi agak molor, jam sudah menunjukkan pukul 10.10 WIB namun tidak ada satupun perawat yang mendatangi kamar saya.


Perasaan saya kembali tidak karuan, sebab calon istri saya yang datang sejak Senin malam menemani saya mulai berubah perangainya. Wajah cantik calon istri saya mbrambangi dan matanya tampak berkaca-kaca. Ketenangan yang sehari sebelumnya saya kumpulkan seperti menguap, meski berkali-kali saya kumpulkan di dalam hati dan pikiran saya.


Berkali-kali saya pandangi perempuan yang berada tepat di sisi kanan saya. Batin saya berkali-kali bersyukur, betapa beruntungnya saya, diberi tanggung jawab oleh Allah untuk mencintai perempuan seperti dia.


Dia tidak memiliki kewajiban untuk tetap bertahan bersama saya, bahkan dia bisa saja memilih pergi untuk mencari laki-laki yang tidak merepotkan seperti saya.


Tapi dia memilih di sini, di sisi ini untuk terus menemani saya. Terima kasih Ya Allah...


Setelah menandatangani surat pernyataan untuk menjalani operasi, akhirnya dua orang perawat perempuan membawa saya menuju ruang operasi di lantai 1.


Tidak jauh berbeda dengan bayangan saya, ruang operasi memang sekecil itu. Di ruangan dengan perkiraan sekira 15x15 meter itu, saya akan dioperasi. Salah satu testis saya akan diangkat.


Saya diminta untuk ganti baju operasi. Baju operasi berwarna hijau tanpa kancing dan hanya ada tali di bagian belakang.


Salah seorang perawat juga sudah bersiap dengan alat cukur untuk mencukur bulu kemaluan saya. Apa saya gak malu? Jelas malu luar biasa, tapi ah sudahlah, toh waktu dioperasi juga mereka bakal tahu "daleman" saya.


"Dibius dulu ya mas," ucap seorang dokter anestesi yang saya lupa namanya. Seorang bapak dengan rambut putih yang lebih mendominasi dibandingkan rambut hitamnya.


Saya sempat ditawari untuk bius spinal, atau bius lokal yang digunakan untuk mencegah rasa nyeri pada pasien yang hendak melakukan operasi di area bawah pinggang.


Dengan posisi duduk dan kaki ke depan, tengkuk saya ditahan oleh dua orang perawat pria. Perlahan saya bisa merasakan jarum disuntikkan ke tulang punggung saya.


Rasanya? Luar biasa.


Jarang ada manusia yang benar-benar bisa sadar menjelang operasi besar. Dan saya cukup beruntung bisa menceritakannya melalui tulisan ini.


Sayangnya, lantaran diduga saya tidak kuat menjalani operasi hanya dengan modal anestesi spinal. Tim dokter anestesi lantas memutuskan untuk bius total.


Hal ini saya ketahui dari selang infus yang mendadak diberikan pada tangan kanan saya.


Sempat bercanda dengan salah seorang asisten dokter yang berdiri di sebelah kanan saya, namun perlahan dalam kurun kurang dari 5 detik, saya sudah tidak sadarkan diri.


Saya masih ingat ketika asisten dokter pria itu melihat saya. Matanya seakan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.


...


Perlahan saya membuka mata dan menyadari saya sudah didorong di atas ranjang dari ruang operasi menuju ke kamar inap lagi. Calon istri dan teman saya ikut membersamai di sisi ranjang.


"Ya Allah, alhamdulillah, saya masih hidup," batin saya.

Photo by National Cancer Institute on Unsplash
Iklan