Cerbung Horor Teror Gantung Diri (6): Penampakan Genderuwo Bermata Merah

Cerbung horor ini diangkat dari kisah nyata~ Cerita Sebelumnya, Mimpi Basah Berujung Tragis...

Sinar matahari perlahan menembus sela-sela dedaunan pinggiran desa. Satu dua warga berlalu lalang, memulai paginya dengan kembali ke swah. Sawah yang mereka tuju bukan milik mereka sendiri, mereka hanya mengerjakan ladang milik orang dengan bayaran per harinya.

Kebanyakan lahan persawahan di desa itu memang bukanlah milik warga desa setempat. Biasanya, pemiliknya adalah pegawai kabupaten, namun sengaja dibiarkan digarap warga setempat agar lebih bermanfaat dan memberikan pendapatan warga.

Tak berbeda pula dengan Rohmat, meskipun Ia tak mengayuh sepedanya untuk bertani, tiap harinya Ia bekerja di bengkel pinggir desanya.

"Ayo man. Gek cepet, selak telat!" teriak Rohmat memanggil adiknya.

Dari ruang tengah berlari remaja yang sudah mengenakan seragam putih-biru lengkap dengan tas dan sepatunya.

"Sabukmu!" suara menyahut dari dalam rumah. Ibunya berlari sambil memegangi sabuk kulit hitam yang motifnya mulai rusak karena usang. Rohman segera mengenakan sabuk yang diberikan ibunya, menali sepatunya dan bergegas menyusul kakaknya yang sudah bersiap dengan sepeda onthelnya.

"Ayok mas!" ucap Rohman.

"Buk, kulo pamit. Assalamualaikum!" Rohmat berpamitan. Ia mulai mengayuh sepedanya menjauhi rumah.

***

Mimpi semalam masih diingat benar oleh Rohmat, meski beigitu Ia harus tetap bekerja tiap harinya. Rohmat memang bukan pemilik dari bengkel tempatnya bekerja.

Ia hanya montir biasa yang kemudian diajak bekerja sama dengan Pak RW. Gaji bulanannya adalah bagi hasil keuntungan berdasarkan pendapatan bengkel. Namun, meski begitu, Ia patut bersyukur karena Ia mendapatkan jatah 3x makan dalam sehari.

"Lancar mat?" Sahutan Pak RW mengalihkan fokus Rohmat yang sedang memperbaiki busi salah satu sepeda motor milik pelanggan.

"Namung macet sitik pak," jawab Rohmat sambil tersenyum.

"Yowes, cah enom kudu semangat!" ujar Pak RW menyemangati.

Rohmat biasa memperbaiki 4 hingga 5 motor dalam sehari. Sifatnya yang mudah belajar dan supel membuatnya mudah akrab dengan orang baru. Sifat itulah yang membuat Pak RW selaku bos-nya menyukai Rohmat dan tak berniat menambah karyawan di bengkelnya. Meskipun hal itu membuat Rohmat kewalahan.

Jarum pendek pada jam dinding bengkel menunjuk ke angka tiga. Rohmat menoleh keluar, masih ada dua motor di antrian servis.

"Rohman enek sing njemput ra yo," batin Rohmat.

Khawatir adiknya tak ada yang menjemput, Ia mantap untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya dan bermaksud menjemput adiknya di sekolahan. Setelah selesai menutup pintu geser ruko bengkel, Ia bergegas mengayuh sepeda.

"Sedilit, terus balik rene meneh," gumam Rohmat.

***

Sekolah adiknya cukup jauh dari bengkel tempat Rohmat bekerja. Dengan menggunakan sepeda onthel, bisa memakan waktu hampir satu jam.

Namun setibanya di sekolah adiknya, yang Ia temui hanya sekolah yang sepi dan telah dikunci pagarnya.

"Tumben kok wes podho muleh jam semene," gumam Rohmat.

Meski dongkol, Ia bersyukur adiknya sudah pulang. Ia tak perlu khawatir adiknya sendirian di sekolah menunggu jemputannya.

"Seandainya saja punya hape," gerutu Rohmat dalam hatinya.

Rohmat segera kembali mengayuh sepedanya, berbalik ke arah Ia berangkat. Kali ini Ia kayuh sepedanya lebih cepat dari sebelumnya, Ia sadar sebentar lagi sore menghilang. Rohmat menghindari pulang larut malam.

Sejak kecil, Ia seringkali mendengarkan ibunya bercerita, ketika surup manusia tidak boleh harus berhenti beraktivitas, entah bekerja atau aktivitas lain lain, karena waktu surup adalah waktu kolong wewe dan genderuwo keluar.

"Wes surup, ojo dolan ng njobo! Digondol genderuwo lho!" kenang Rohmat mengingat kata ibunya sewaktu Ia kecil dulu.

Kala Ia kecil, Ia benar-benar mempercayai cerita ibunya, tapi kini tak lagi.

"Sekarang zaman wes maju, percoyo genderuwo terus ya ketinggalan kemajuan zaman," bisik Rohmat. Entah Ia berbisik kepada siapa, karena Ia memang sendirian.

Tapi nampaknya ada yang tak sependapat dengan apa yang dipikirkan Rohmat. Di tengah perjalanan, ketika Rohmat mulai memasuki kawasan sepi tak ada rumah, hanya pekarangan bambu.

Semula tak ada yang aneh sampai Rohmat menyadari ada yang bergerak cepat mengikutinya di hutan bambu sebelah kirinya. Melihat bayangan hitam itu, Rohmat berhenti, Ia perhatikan benar benda atau makhluk apa yang ada di rerimbunan bambu itu.

Keringat Rohmat mengalir deras di dahinya, pori-porinya membesar, mukanya berubah pucat pasi saat bayangan tersebut tiba-tiba berubah menjadi makhluk besar berbulu. Matanya merah, membalas memandang Rohmat dari jauh, kemudian hilang begitu saja.

Sadar makhluk di depannya menghilang, Rohmat kembali mengayuh sepedanya, jauh lebih cepat. Kata-kata Ibunya kembali terngiang di telinganya. Dalam hati, tak jelas dia ingin membaca ayat suci atau mau mengumpat, tangannya gemetar.

Sambil mengayuh, Ia menoleh ke belakang, tak ada yang mengejarnya. Namun…
"maat… Rohmat, ayok melu aku," sebuah suara berat menyapa Rohmat dari atas.
Rohmat mendongak ke atas. Tepat di atasnya genderuwo bermata merah meringis, melihatnya dengan bengis.

"AYOO MAT, KETEMU NINGRUM MAT, HIHIIHHIHI," suara genderuwo semakin keras.
ROhmat terus memacu sepedanya, mencoba menjauh darinya.

"Allahu akbar, Subhanallaaah, Allah Allaah," Rohmat mencoba meneriakkan semua ayat-ayat suci yang Ia tahu. Namun pita suaranya seperti menghilang. Tak ada satupun patah kata yang keluar dari mulutnya.

Cerita Selanjutnya, Pesta Misterius di Tengah Hutan...
Ilustrasi [Yudi Sutanto]