Misteri Pocong Penunggu Asrama Pondok

Yhaa pocongnya ikut nyantri, gaes~ Ini adalah kali kedua bagi saya menceritakan pengalaman mistis setelah beberapa saat lalu menceritakan pengalaman saya saat melakukan perjalanan Solo-Pacitan melewati Gunung Pegat, Wonogiri.

Kejadian ini benar kualami pada tahun 2010, tahun pertamaku memutuskan untuk hidup di asrama salah satu perguruan agama di kota yang berbeda dengan orang tuaku.

Setelah 30 hari melewati hari-hari di bulan puasa yang berbeda dengan biasanya, aku bersama seorang kawanku akhirnya menikmati hari raya di asrama pondok pesantren tempat kami menuntut ilmu. Iya, tahun pertama kuputuskan untuk tak pulang sama sekali, meskipun sebenarnya rumahku pun tak jauh dari padepokan, kurang lebih “hanya” 250 kilometer.

Hari ini adalah hari kedua Lebaran Syawal tahun 1431H, seperti biasa, santri yang tak pulang akan diberdayakan dengan ikut bantu-bantu santri ndalem dalam berbagai hal.

Kompleks padepokan yang total luasnya hampir satu lapangan bola, tentu akan terasa sangat sepi ketika hanya ditempati tiga orang saja: aku, seorang pengajar bernama Pak Budi, dan satu kerabat dari keluarga pengasuh. Sebenarnya selain aku, masih ada satu kawan santri yang berasal dari luar pulau Jawa. Tapi, untuk beberapa alasan, dia keluar pondok dan tak kunjung kembali saat matahari sudah terbenam.

Menjelang maghrib, aku sengaja mandi agak terlambat. Biasanya, untuk mandi saja kami bisa ngantri berjam-jam. Maklum lah, wong kamar mandinya cuma 20 sedangkan orang yang menggunakan bisa sampai ribuan.

Karena tak ada yang antri, kurasa aku bisa seenaknya sendiri hepi-hepi tanpa harus buru-buru atau menghemat air karena sungkan dengan santri yang lain. Libur di pondok memang sememuaskan itu bagi pelajar sepertiku.

Kamar mandi asrama putra didesain mirip seperti lorong yang kanan-kirinya terdapat bilik-bilik  saling berhadapan. Untuk masuk ke kamar mandi tersebut, aku harus melewati kobokan dengan panjang kurang lebih 3 meter. Jadi, ketika ada orang ataupun hewan yang mau masuk ke kamar mandi, otomatis akan terdengar suara gemercik air kobokan.

Tak ada yang aneh ketika aku memasuki kamar mandi, kulihat tak ada satupun yang menggunakan 20 bilik kamar mandi yang ada. Rasanya seperti akulah penguasa tempat tersebut.

Byur byurr jgeeer! Aku mulai mandi dengan semena-mena. Tanpa ragu, aku bahkan nyanyi-nyanyi nggak jelas di sela guyuran air, tanpa memedulikan waktu maghrib. Mumpung sendirian, pikirku.

Rupanya, ada yang tidak suka melihatku begitu. Selesai mandi, baru kusadari ada yang tak wajar. Kaos, sarung, dan handuk yang kutaruh di gantungan pintu hilang!

Bajinguk, andukku nangndi?!

Aku celingukan, sambil terbersit pikiran untuk berlari saja dari kamar mandi ke kamar asrama dengan telanjang bulat. Namun, kubatalkan niatku, karena merasa akan sangat lucu jika aku benar-benar melakukan hal tersebut, meskipun saat ini aku sendirian di asrama.

Aku memanjat batas antar bilik, tanpa sehelai benang di tubuh pastinya. Mataku menyusuri tiap inci dari kamar mandi, dan… aha! Kutemukan seperangkat pakaian dan handukku ada di atas tandon kamar mandi yang berada di ujung lorong. Tepatnya berada 2 meter di atas lorong.

Kok isok tekan kono? Piye carane? Batinku. Tapi ah sudahlah, masa bodoh, mungkin saja digondol jin. Aku tak mau ambil pusing, asalkan aku tak harus jalan telanjang ke asrama, tak jadi soal. Hanya saja, kejadian tersebut mengingatkanku pada salah satu wejangan Pengasuh Asrama. Beliau mengatakan, lebih baik segera mempersiapkan diri untuk sholat berjamaah saat adzan sudah berkumandang.

Seusai jamaah sholat maghrib, kupikir aku tak lagi punya agenda lain. Tiba-tiba Pak Budi memanggilku, menawarkan untuk safari malam ke asrama putri.

“Wah, cocok iku, Pak!” ujarku dengan semangat.

Adalah sebuah kebejoan yang luar biasa saat seorang penghuni asrama putra diperbolehkan untuk jalan-jalan di asrama putri.

Dengan riang gembira, aku mengikuti beliau bersafari malam tersebut dari lantai dua bangunan asrama putri. Tak ada yang spesial, tapi kutemukan fakta baru yang tak kalah menarik. Perempuan tak kalah kemproh dengan laki-laki. Perjalanan kami berlanjut ke lantai tiga dan loteng. Selesai safari malam tersebut, Pak Budi mengajakku untuk ke ruangannya, mau dikasih roti katanya.

Kamar pengajar memang cukup jauh dari asrama putra. Kamar Pak Budi sendiri ada di lantai 4. Kami ngobrol ngalor-ngidul hingga jarum pendek jam di dinding sudah menunjukkan angka 11. Baru mau pamit buat balik ke kamar, tiba-tiba Pak Budi nyeletuk,

“Jon, sampeyan hati-hati. Tadi ada yang ngeliatin sampeyan terus waktu di asrama putri,”

“Wah, opo sih, Pak. Njenengan meden-medeni tok. Emang yang ngeliatin saya siapa, Pak?”

“Ya ada lah pokoknya. Hati-hati aja, ojo mbengok-mbengok, paling onok sing seneng mbi awakmu,” ujarnya sembari mematikan televisi.

Aku tertawa mendengar ucapan Pak Budi. Setelah pamit, aku memutuskan untuk kembali ke asrama. Kupikir ia hanya menakut-nakutiku saja. Tapi, mendengarkan guyonan horor dari seorang pengajar tentu lumayan membuatku kepikiran.

“Asu lah,” ujarku sambil berlalu.

Tangga penghubung antar lantai di bangunan tua tersebut hanya diterangi dengan lampu pijar ber-watt kecil. Cahayanya hanya menghasilkan penerangan tanggung, bahkan lebih parah dari sekadar remang-remang.

Dari lantai empat, kunyalakan ponselku. Kucoba mengurangi perasaan ngeri pasca perkataan Pak Budi tadi. Tak ada apapun, aku bahkan tak memikirkan hal-hal yang horor.

Saat berada di lantai tiga menuju ke lantai dua, kusoroti lorong tangga dengan layar ponselku, tak ada apapun. Benar-benar sepi.

Aku berjalan menunduk, melihat ke layar ponselku. Saat berjalan di tangga, tiba-tiba aku merasakan adanya kehadiran di sisi kiriku. Refleks kepalaku menoleh ke sisi kiri.

Lalu...

Sebuah kain putih berdiri tepat di sisi kiriku. Serupa seperti yang ada di film-film horor yang selama ini aku lihat di TV. Bedanya, saat ini dia ada di sebelah kiriku. Sangat dekat, dekat sekali.

Tingginya yang sama denganku membuatku dengan jelas melihat bagian muka yang tak tertutupi kain. Hitam, seperti tak ada apa-apa di mukanya. Baunya anyir. Hanya sepesekian detik aku langsung menghadap ke bawah. Kaki kiriku menginjak kain kafan itu!

Tubuhku kaku, tenggorokanku seperti mau membaca semua ayat-ayat suci yang selama ini kuhapal. Apapun! Tapi tak ada sepatah katapun keluar dari mulutku. Kakiku kaku. Tubuhku seperti beku.

Kupaksa kedua kakiku berjalan, perlahan ke lantai dua kemudian berlari ke aula asrama. Kuhidupkan semua lampu di sekitarku, kuraih semua saklar dan kuhidupkan semua lampu.

“POCONG JANCOOOOK!!!!” Teriakku sekeras-kerasnya dengan napas yang masih tersengal-sengal.
Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan