Tumbal Tandon Wonokitri

Selain berpondasi batu, tandon Wonokitri juga berpondasi tumbal~

Perempuan itu selalu terlihat sendirian di tangga salah satu bangunan tak jauh dari tandon air Wonokitri. Tiap kali aku pulang kerja, ia selalu berdiri tak jauh dari tangga utama bangunan itu.


Entah sedang menunggu seseorang atau sekedar menghayati sorenya di sisi itu. Atau memang ia berbincang dengan makhluk yang tak mampu kulihat dengan mataku.


Dalam dirinya, aku seperti melihat semangat baru di hidupku yang membosankan. Malam ini adalah kali ke tujuh aku melihatnya di tempat yang sama, di sisi yang sama. Sendiri.


Hari ketiga aku melihat perempuan itu duduk, masih di tempat yang sama. Apakah dia karyawan di pabrik tak jauh dari tandon itu? Tapi tak ada satupun karyawan yang berlalu lalang peduli padanya. Bahkan, melirik pun tidak.


Sikapnya yang tak sedikitpun mencoba berinteraksi dengan manusia lain justru semakin menunjukkan sisi manusiawinya.


Kuperhatikan, ia memang mengenakan baju yang sedikit lebih mencolok dibandingkan perempuan lain di zaman ini.


Matanya yang selalu melihat aliran sungai membuatku merasa ingin tenggelam bersamanya. Ia selalu sendiri, tak pernah bersama teman, apalagi kekasih. Apakah ia benar-benar manusia? Ah, setan macam apa yang berani keluar jam tiga sore. Pikirku.


Hari keempat, Ia tak ada di tempat biasa Kini, ia duduk. Kuhentikan laju motorku. Kupikir hari ini aku kehilangan kesempatan menikmati serbuan rambutnya yang membuka tirai senja dengan caranya yang begitu menarik.


Aku yakin, tiap pria di planet ini akan menerima kalau sedikit masa hidupnya dipotong demi melihat betapa ayunya perempuan misterius ini.
Mataku berlarian, mendaki sosok perempuan itu dari ujung kaki hingga ujung rambutnya.


Jauh sebelum aku menemukan sosok indah ini, tak jarang aku dengar kabar angin bahwa bangunan ini banyak penunggunya. Konon, bangunan bercat biru itu dulunya salah satu tempat favorit untuk bersemedi.


Entah untuk mencari wangsit atau sekedar mencari jodoh –dari alam lain tentunya. Yang jelas, bangunan ini memang sudah berdiri sejak jaman kolonial. Bahkan, tanpa membutuhkan kepekaan gaib, orang awam akan tahu bangunan ini menyimpan ribuan misteri gaib di dalamnya. Tapi, aku tak tertarik memikirkan itu sekarang. Lebih baik kupikirkan perempuanku.


Dari kasak-kusuk yang berkembang—pria yang pertama kali melihatnya—menganggap ia seorang wanita yang benar-benar baru di dunia ini. Tidak pernah benar-benar ada di planet ini.


Ia seakan-akan tidak terlahir dari rahim seorang ibu. Namun, bagiku ia justru lebih manusiawi dari orang yang berlalu lalang tiap pagi dan sore di jalanan.


Ia adalah sekuncup bunga yang baru berkembang. Ia bangun seperti bunga dan tidur seperti rembulan.


Saat ia bangun, wanginya bisa diterima logika atau mungkin mistis, jenis wangi baru yang tidak pernah terendus hidung mana pun. Sementara ketika ia memejamkan mata, eloknya menciptakan gairah penikmatnya.


Bagaimana ia berjalan? Setahuku, ia hanya diam di bangunan itu. Apakah ia bernafas? Setahuku ia benar-benar mematung. Seperti apa senyumnya? Aku tak pernah benar-benar memandang wajahnya. Apakah ia akan menoleh jika aku menyapanya dari balik pagar?


Lantunan panggilan ibadah bersahutan. Kucukupkan menikmati perempuan itu tanpa menyapanya.


"Anjing!," umpatku dalam hati.

Sore di hari kelima, sepulang kerja. Aku menemukannya kembali, ia bermain dengan jari-jemarinya dan masih membelakangiku, akupun tak cukup berani memanggilnya.


Kebahagiaanku adalah menikmatinya dari kejauhan.


Kumatikan mesin motorku tepat di sisi pagar dengan harapan mungkin ia akan menoleh kepadaku. Sementara malam tak mau menunggu.


"Sial, kalau saja Tuhan mau mendengarkan doaku pagi tadi," batinku sembari kutendang engkol motor bebekku.


Mesin motor menderu, kupandang sekali lagi perempuan itu sebelum aku berlalu dan ya! Inilah yang aku tunggu, ia menoleh kepadaku! Oh, betapa mujurnya nasibku kali ini.


Sayang, lampu remang-remang di bangunan tua itu tak cukup membuatku tahu, seperti apa sesempurna apa wajahnya. Aku berlalu.


Hari ke-enam, jarum pendek di jam tangan kiriku menunjukkan angka empat, kurang sedikit. Waktu yang tepat untuk menyapa perempuan itu, harapku. Kali ini aku pulang kerja lebih awal dari biasanya. Hanya demi dia yang bahkan tak kuketahui bagaimana rupanya.


Belum sempat sampai ke lokasi favoritku, di tengah perjalanan aku dihentikan kerumunan manusia. Apa-apaan orang-orang ini, sedikit-sedikit mereka berkumpul, seperti kawanan hyena saja.


Bisik-bisik antar kerumunan itu mencapai telingaku. Ada mayat ditemukan di dekat tandon air Wonokitri. Seorang polisi langsung mengevakuasi dan membawa mayat itu ke rumah sakit. Jenis kelamin mayat itu perempuan. Dari wajahnya yang masih segar, ditaksir usianya sekitar 23 tahun. Tubuhnya langsing. Kulitnya kuning. Rambutnya pendek, agak ikal. Wajahnya manis.


Aku menembus kerumunan, mencoba melihat seperti apa wajah korban. Mungkinkah dia?


Baju perempuan itu utuh. Tubuhnya pun sempurna, tidak ada luka. Ada dugaan, perempuan nahas itu mati bunuh diri. Polisi mulai menanyai beberapa saksi yang ada di lokasi.


Dengan keramaian seperti ini, kupikir akan sulit menemui perempuan di tandon Wonokitri. Kulepas kesempatan kali ini.


"Esok hari harus dapat," teriakku dalam hati.


Hari ke-tujuh. Aku memberanikan diri untuk masuk ke halaman gedung tua itu. Tapi dimana dia? Harusnya ia ada di dekat tembok, membelakangiku. Dengan niat setengah matang kulompati pagar usang yang memisah jalan sempit kampung dengan halaman gedung. Masih ada sisa-sisa garis polisi di lokasi itu.


Dan oh, benar saja, ia berada di sisi kiri gedung. Seperti biasanya,aa membelakangiku. Pita suaraku seperti tiba-tiba dicolong tuyul, menghilang, suaraku tak mau keluar. Aku mulai gusar, sementara ia masih membelakangiku.


Aku bisa saat kupaksa kakiku mendekat pada perempuan idamanku itu. Suasananya sudah tepat, sinar matahari sudah berganti, adzan maghrib sudah lewat, malam sudah kusambut. Saatnya maju beraksi.


Kutepuk lembut pundak kiri perempuan berbaju merah itu. Baju yang dari hari pertama selalu ia kenakan, dengan terusan hingga setengah dari panjang kakinya.


"Hai, boleh aku mengenalmu?" tiba-tiba suaraku muncul dengan sendirinya. Wah, tubuhku bisa meresponku meski tadi tiba-tiba aku bisu.


Aku terdiam. Ia menoleh, ia juga diam. Setengah dari wajahnya hancur, bau busuk, penuh belatung, darah serta nanah menetes dari daging di sela-sela tulang tengkoraknya yang terlihat.


Napasku tercekat, mundur perlahan. Makhluk itu memegangi tanganku. Suaraku kembali menghilang.


Sesaat muncul suara di kepalaku.


"Jangan pergi, aku menyukaimu,"

Ilustrasi [Yudi Sutanto]