Misteri Teror Kampung Pocong

Fix, kampung ini emang dipremanin sama pocong~ Hari Minggu adalah hari di mana manusia, khususnya budak korporat, menikmati waktunya setelah hari biasa dihabiskan dengan bekerja. Tak terkecuali Joyo, yang kali ini menikmati paginya dengan leyeh-leyeh ditemani secangkir kopi dan udud lintingan.

Dari kejauhan, Anton dan Sembir, kawan kerja Joyo di pabrik, datang dengan senyum mesum mereka.

“Joh, lapo kon?” tanya Sembir

“Coli,” jawab Joyo.

“Jancok, serius cok!”

“Lha, wes ngerti kok sek kakean takok!”

“Halah, kon iku nggak kerjo nggak libur tetep emosian!” ujar Sembir.

“Iya nih, kayaknya dari wajahmu, keliatan kurang main. Mending main sama kita,” ujar Anton dengan logatnya yang khas. “Gimana kalau kita ke Bromo sekarang?” ucap Anton.

“Hah? Sing genah kon iku! Mosok nang Bromo?”

“Serius ini. Mau, nggak?”

“Tenan yo, kan mumpung libur,” Sembir ikut menimpali sambil nyolong seruputan dari wedang kopi milik Joyo.

“Yowes lah, oke. Tapi yo ojok asal nyruput kopiku ngono ta cok!” ucap Joyo disambut cekikikan kedua temannya.

***

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam, akhirnya mereka tiba di Kawasan Bromo pada siang hari.

Sembir membonceng Anton, sedangkan Joyo naik motor sendiri. Sambil berputar-putar di area Bromo, Anton, dan Sembir berfoto-foto ria. Sedangkan Joyo, tak begitu minat.

Saking senangnya, mereka sampai lupa kalau matahari sudah hampir tenggelam. Mereka baru berhenti ketika salah seorang petugas mengingatkan bahwa malam sudah menjelang. Akhirnya mereka memutuskan cabut.

***

“Ngeeenggg..”

Deru knalpot motor terdengar riuh di antara suara jangkrik dan kesunyian jalanan jelang malam. Keanehan mulai terasa ketika Joyo baru menyadari kalau jalan yang dilewati bukanlah jalur yang mereka lalui sebelumnya.

“Eh Mbir, Ton, iki dalane bener nggak ya? Kok koyoke beda dari yang kita lewati tadi?” tanya Joyo.

“Eh, iya, ya? Pantes aku tadi juga ngerasa ada yang aneh, Jo! Kita balik aja yuk, gelap amat ini,” ujar Anton mulai ketakutan.

Saat mereka memutar motor untuk kembali, tiba-tiba mesin motor keduanya mogok.

Terpaksa mereka berjalan kembali sambil menuntun motor. Jalanan dengan penerangan seadanya membuat suasana makin mencekam. Semilir angin mengantar aroma kamboja hingga ke lubang hidung ketiganya.

Ditambah lagi suara binatang-binatang malam, semakin membuat ketiga pemuda tanggung itu merinding.

“Cok, gara-gara mbok ajak mlaku-mlaku nggak jelas, dadi kejebak nang tengah alas horor ngene asu!” umpat Joyo.

“Heh, aku juga takut, Jo!” timpal Anton.

Di tengah kegelapan dan dengan penerangan seadanya, mereka mendengar bunyi-bunyian aneh.

“Lho, kok ada suara orang ya di hutan ini? Kita samperin yuk? Siapa tahu kita bisa minta tolong,” ujar Anton.

Joyo dan Sembir setuju dengan ide itu. Keduanya berjalan menuju ke arah suara.

Setelah melewati jalan setapak, mereka akhirnya menemukan sumber suara. Dan benar saja, di sana ada sebuah mobil pickup yang berjalan pelan di tengah hutan. Tapi bukannya minta pertolongan, mereka bertiga justru mematung.

Mungkin ini agak aneh, tapi yang menumpangi pickup tersebut bukanlah manusia, merupakan segerombolan pocong!

“Po.. po..,” belum selesai berbicara, Anton langsung pingsan.

Sedangkan Sembir dan Joyo lari sekencang kencangnya.

“Jancok, jancok! Sek kesel cok, mandeg disek lah!” ujar Joyo sambil menoleh ke belakang.

“Iyo, aku yo kesel cok!” jawab Sembir.

“Eh, eh, me.. mending, mlayu meneh ae cok!” ucap Joyo terbata-bata.

“Opo se kon iku. Aku kesel. Lapo se?”

“Iku, Mbir, Sembir, deloken iku opooo, Mbiiir?!”Joyo menunjuk ke belakang.

Sembir menoleh, ternyata pickup yang membawa pocong itu menuruni jalanan dan menuju ke arah mereka berdua.

Mereka lari ketakutan menerobos semak-semak tanpa melihat sekeliling. Hingga akhirnya Sembir tersungkur, tak sadarkan diri karena kelelahan.

Keadaan yang gelap membuat Joyo tak sadar kalau temannya pingsan. Ia tetap berlari sambil berteriak minta tolong. Di tengah ketakutannya, Joyo dihampiri gerombolan warga.

“Onok opo, Mas?” tanya salah satu warga yang menghadang Joyo.

“Tadi saya dikejar pocong yang naik pickup. Tolong, Pak. Dua teman saya pingsan di sana,” Joyo menjelaskan sambil tersengal-sengal.

Warga terlihat santai saja mendengar penjelasan Joyo.

Joyo pun heran dengan warga yang responnya biasa saja ketika mendengar ceritanya. Ia juga merasa ada yang janggal dengan gerombolan warga yang tiba-tiba muncul tak jauh dari belantara hutan.

Salah satu warga kemudian mendatangi Joyo dan menceritakan kejadian sesungguhnya.

Jadi, dulu ada rombongan warga dari luar kota Malang. Rencananya, mereka akan ke Bromo menggunakan mobil pickup. Tapi karena supirnya tidak berpengalaman, akhirnya pickup tersebut jatuh ke jurang.

“Banyak yang bilang arwah mereka sering gentayangan dan mengganggu orang yang lewat sini. Kami sering melihat penampakan gerombolan pocong penasaran itu, tapi kami tidak takut,” ujar warga tersebut.

Merasa diledek, Joyo tak terima. Ia balik menantang warga tersebut.

“Saya juga sebenarnya berani! Saya nggak percaya kalau kalian berani, coba buktikan!” ucap Joyo marah.

Tiba-tiba suasana menjadi hening. Joyo merasa ada yang aneh. Warga yang tadinya berbincang dengannya, kini tak ada di hadapannya.

Tiba-tiba dari arah belakang ada suara menyahut, “Coba deh, Mas noleh ke belakang.”

Ketika Joyo menoleh, ia melihat gerombolan warga tadi sudah berubah menjadi gerombolan pocong dengan wajah yang hitam dan penuh darah.

“Mas nyari kita ya?”

Seketika itu Joyo langsung pingsan.
Ilustrasi [Yudi Sutanto]