Cerpen Horor: Ritual Seks Sersan Pemuja Setan

Masih siang sudah main kuda-kudaan~ –Cerpen dedikasi karya Johan Gondhokusumo.

Dia berlari menerobos kerumunan lalu meludah. Ada darah di ujung bibirnya. Matahari sudah naik sepenggalah. Jalan di pasar kian ramai, mempersulit ruang geraknya. Suara kejaran polisi, menembus terik mentari.

“Goblok! Kau biarkan dia lolos!” bentak Sersan Pamungkas sambil mengeplak kepala anak buahnya. Tak ada yang aneh di sini. Makian dan tabokan sudah amat sesuai dengan kepribadian Sersan ini.

“Kayaknya dia beneran bisa ngilang, Pak. Punya ilmu!” jawab salah seorang anak buahnya yang tak sampai sedetik setelah berucap, langsung roboh terhantam sepatu lars punya Si Sersan.

“Ilmu monyet!” ujar Sersan tegas lantas menaiki mobil polisi. Mengejar Badrun Suyatno, yang saat ini sedang bersembunyi di kerumunan pedagang pasar.

“Brengsek, sakit juga tonjokan polisi konyol tadi,” umpat Badrun. Lalu meludah lagi. Giginya sudah remuk. Ia keluarkan pula beserta ludah dan darah.

Tak ada yang aneh dari tampilan Badrun Suyatno. Dia punya pakaian biasa-biasa saja. Hidup biasa-biasa saja. Sampai akhirnya dia bisa membeli rumah yang agak besar di tepi desa.

Dan entah dari mana hembus desas-desusnya, Badrun lantas didatangi banyak warga yang berkerumun, menuduhnya menyembah setan. Semacam pesugihan untuk beli rumah.

Sersan Pamungkas, salah seorang warga situ yang kebetulan polisi, langsung mengamankan Bagus ke kepolisian terdekat. Tapi sudah tiga kali Badrun kabur.

Di kaburnya yang terakhir, saat Badrun asyik menikmati sebongkah pisang kepok dan kopi susu tanpa gula, anggota kepolisian anak buah Pamungkas langsung memegang tangannya. Saat akan berlari, anggota itu memukul keras bibir Badrun.

“Untungnya aku sempat meludahkan darah campur pisang ke wajahnya, kalau nggak bisa mati, nggak bisa kabur,” batin Badrun.

Ketiak penjual melon di dekatnya membuatnya makin pening sekarang. Badrun melamun, mengeluarkan rokok, dan berpikir: kenapa bisa-bisanya warga menuduhnya menyembah setan?

*** Sersan Pamungkas menjambak rambut gadis itu, sambil terus menggoyang-goyangkan pinggulnya. Dalam posisi berdiri pun, dia bisa menikmati desah lembut dan terukur dalam keringat ruangan kepala polisi yang gerah di siang itu.

Kopinya yang sudah dingin dikerubungi lalat. Abu rokok belum mengering. Perempuan yang disewa Sersan belum menuntaskan tugasnya. Lalu tiba-tiba terdengar suara yang tak asing.

“Mantap, masih siang udah main goyang-goyangan!”

Sersan Pamungkas pun kaget.

“Bajinguk! Kok bisa kau masuk!” ujarnya mencabut kelaminnya lalu mengambil pistolnya. Saat menarik pelatuk dan menyemburkan peluru, pria tersebut hilang. Lenyap begitu saja.

Pria itu adalah Badrun Suyatno dan kejadian ini terjadi siang hari sebelum Badrun dituduh menyembah setan.

***

“Aku yakin orang yang masuk kantorku tadiya Si Badrun bajingan itu! Yakin benar! Aku sudah gembok pintu, di luar juga banyak anak buahku. Gimana dia bisa menembusnya kalau nggak punya ilmu setan! Ini nggak benar, harus diserbu itu Si Badrun!” ujar Sersan Pamungkas pada salah seorang petinggi desa.

“Saya tidak yakin. Tapi, saya juga jadi berpikir, bagaimana Badrun bisa membeli rumah besar di seberang sana baru-baru ini. Kalau dia benar-benar masuk ruanganmu dan bisa membeli rumah sebesar itu, barangkali benar adanya dia menyembah ilmu setan!” ujar si petinggi desa.

Peristiwa ini terjadi di malam hari sebelum Badrun dituduh menyembah setan.

***

“Kau istrinya Badrun kan?” tanya Sersan Pamungkas pada perempuan panggilan yang dipesankan anak buahnya. Gadis itu mengangguk.

“Iya, Pak,” jawab si gadis.

Sersan Pamungkas lalu melucuti pakaian si gadis dengan agak terburu-buru, sambil terus bertanya.

“Suamimu tahu hal ini?”

“Nggak, Pak. Suami saya orang baik, orang biasa,” jawabnya.

“Lalu kenapa kau melonte begini?” tanya Sersan Pamungkas.

“Buat melunasi cicilan rumah, Pak. Kami baru saja nekat beli rumah di seberang desa,” jawabnya.

“Lalu, kalau suamimu tahu bagaimana?”

“Saya ngakunya kerja di pabrik, Pak. Tapi kalau dia sampai memergoki kita, bunuh saja, Pak. Kalau nggak dibunuh, dia yang bakalan bunuh Bapak. Makanya jangan sampai ketahuan,” ujar si istri.

Sambil mendegut ludah karena kemulusan istri Badrun, Sersan Pamungkas tertawa terbahak-bahak.

“Mana mungkin dia mengalahkanku!” teriaknya sombong.

“Jangan remehkan Mas Badrun, Pak. Dia bisa membuat kepala Bapak langsung menggelinding sekali kedip. Dia punya ilmu.”

Percakapan ini terjadi di siang yang sama, sebelum Badrun dikejar-kejar dan diburu Sersan Pamungkas. Soal ilmu Badrun, sang istri hanya berbohong supaya Sersan Pamungkas membayarnya penuh dan tak macam-macam.

Apa daya, setelah itu, Sersan Pamungkas paranoid sendiri. Merasa melihat Badrun dalam bayangnya sendiri. Lantas mengeluarkan pistol dan melepas tembakan. Lalu di malam harinya, Sersan Pamungkas berbicara pada petinggi desa, untuk menyerbu rumah Badrun.

Dia tak berpikir, kalau memang Badrun memang punya ilmu hitam dan sakti, kenapa istrinya berani-beraninya menjual diri?

Sementara itu, Badrun masih mencari tempat persembunyian terbaik atas kesalahan yang tak pernah dilakukannya.

Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan