Cerbung Horor Teror Gantung Diri (2): Bayangan Hitam Dekat Liang Lahat

Bayangan itu terus bergeming di antara pelayat~ Cerita Sebelumnya, “Nak, Izinkan Ibuk Mengajakmu Pergi..”...

Matahari semakin redup, tirai hangatnya menutup. Langit memerah seiring siang berganti malam. Jarum pendek hampir menyentuh angka lima. Sumi bersama suaminya memutuskan mempercepat pekerjaannya.

Pak, sampun nggih. Wes sore ngene kok,” teriak Sumi.

Paidi yang sedang mengayunkan cangkulnya, sejenak berhenti. Ia mendengar pekik suara sang istri dari kejauhan.

Iyo buk. Diluk maneh,” sahut Paidi. Tak berselang lama, Paidi mendekati istrinya, bermaksud untuk ikut membantu sang istri beres-beres dan membawakan ceret.

Sampun pak, ceret karo rantange tak gawane sisan,” ujar Sumi pada suaminya. Paidi hanya mengiyakan permintaan istrinya. Paidi, yang tahun ini genap berkepala enam, memang tak memiliki keinginan sedikitpun untuk menikmati usia senjanya dengan bersantai di rumah.

Mumpung iseh iso makaryo yo diusahakno makaryo, ojok malah meneng neng omah,” begitu kira-kira jawaban Paidi beberapa tahun lalu saat Ningrum memintanya untuk beristirahat di rumah saja. Ningrum bermaksud untuk mengirimi sebagian upahnya bekerja di pabrik perbulan untuk kedua orang tuanya, namun Paidi menolak, tak mau jadi beban Ningrum.

Kedua pasangan sederhana inipun tiap harinya bekerja sebagai buruh bayaran di ladang orang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka sudah cukup bahagia dengan keluarga kecil mereka, ditambah lagi, setelah kelahiran cucu tercintanya.

Buk, iki gedhang soko pak mandor. Mengko diparingno Rahma,” ujar Paidi. Sumi mengangguk setuju. Langit merah mulai berubah menjadi gelap, sinar matahari berganti dengan cahaya lampu yang satu persatu menyala di depan rumah warga.

Jalan setapak yang dilalui pasangan suami istri ini selalu sama. Jalur satu-satunya yang menghubungkan rumah mereka dengan ladang yang selalu mereka garap. Tak ada sedikitpun gundah di hati keduanya, mereka berbincang ringan tentang apa yang akan dibeli menggunakan upah mereka.

Sumi pun kemudian menginginkan sebuah buku untuk cucunya.

“Biar Rahma bisa belajar baca di rumah,” batinnya.

Setelah tiba di rumah, keduanya langsung langsung memasuki rumah utama. Rumah sederhana yang sudah mereka tempati lebih dari 30 tahun tersebut tak memiliki pengamanan lebih pada pintu. Hanya engsel sederhana yang terbuat dari kayu.

Selesai membersihkan diri, keduanya santai sejenak di teras depan rumah. Mereka membicarakan masalah yang menimpa putri mereka satu-satunya. Raut sedih seakan selalu kembali kepada kedua orang tua sederhana ini ketika keduanya mulai mengingat hal malang yang menimpa Ningrum.

Eh kok sepi, Ningrum kalih Rahma ngandi yo, Pak? Mosok ning musholla?” tanya Sumi.

Lha embuh, mosok ning musholla, nggak biasane. Jajal delok ning kamar opo pawon kono,” Paidi menimpali istrinya.

Sumi lalu beranjak dari samping Paidi, ia mencari-cari putri dan cucunya di dalam rumah dan dapur, sementara itu Paidi mulai menghisap rokok lintingannya. Kepulan asap perlahan menjalar keluar dari bibir kering Paidi. Nafasnya berat, beberapa kali menghela nafas dengan cukup panjang. Entah apa yang mengganggu pikirannya, tapi tampaknya dia cukup menikmati waktu senggangnya sendirian di teras rumahnya yang hanya diterangi lampu pijar lima watt.

“AARRGGHHHHH!! YA ALLAAAAH!!,” pekik Sumi.

Paidi yang sebelumnya santai dengan rokoknya terperangah kaget. Ia langsung berlari mencari sumber suara. Namun hatinya hancur bukan kepalang setelah mata kepalanya melihat jasad kedua anggota keluarganya menggantung di dapur rumahnya.

Jasad keduanya telah kaku, wajah Ningrum yang manis berubah menjadi mengerikan. Dari mulut dan hidungnya, keluarka cairan kental bercampur dengan darah yang sudah menghitam. Cairan kental menetes dari ujung jari kaki Ningrum dan Rahma.

Ilustrasi [Yudi Sutanto]

Pupilnya membelalak lebar ke atas, hampir tak terlihat. Urat-urat di sekitar tenggorokan sang bunga desa yang menegang memperlihatkan teksturnya yang mengeras.

Sementara tak jauh dari dari dua jasad yang menggelayut pada tiang gantungan, ada tubuh Sumi yang sudah tak sadarkan diri. Mata Paidi seakan tak percaya, jantungnya berdegup kencang, pikirannya kosong. Kemudian semuanya gelap. Tubuh gempalnya tersungkur jatuh, tak jauh dari istrinya.

***

Orang-orang mulai berdatangan, beberapa mengenakan pakaian hitam. Beberapa pemuda lebih memilih di pinggir jalan depan kediaman Paidi, mempersilakan para pelayat untuk masuk ke rumah duka.

Sementara Paidi duduk tepat di teras rumahnya, meski beberapa kali ikut menyalami para pelayat, namun wajahnya yang sayu tak mampu ia sembunyikan. Hatinya benar-benar hancur berkeping-keping. Ia tak menyangka putri kesayangannya lebih memilih jalan yang begitu dibenci Tuhan.

Ia masih mencoba kuat walau beberapa kali Ia menangis saat mengingat wajah putrinya yang menggantung beberapa jam sebelumnya. Paidi jauh lebih baik dibandingkan istrinya yang berada di dalam rumah, tepatnya di samping jasad Ningrum yang sudah dikafani.

Nduuk, piye to nduuk..,” Sumi menangis sambil meronta-ronta di samping jasad anaknya. Sungguh pemandangan yang menyedihkan dan tak elok. Sudah tak terhitung lagi berapa kali Sumi pingsan malam ini. Namun saat sadar, Sumi langsung mencari anaknya. Beberapa tetangga yang berada di sekitarnya hanya bisa menenangkannya meski sudah tak bisa lagi mengendalikan Sumi yang seperti kesurupan.

“Pak, niki sampun nggih. Langsung dikuburne wengi iki ae. Lebih cepat lebih baik,” ujar Pak RT. Suaranya yang halus sedikit mengagetkan Paidi yang tenggelam dalam lamunan. Ia hanya mengangguk pelan.

Setelah menempuh perjalanan selama satu jam, rombongan pembawa keranda jenazah tiba di pemakaman umum yang berada di pinggiran dukuh. Dengan penerangan yang seadanya, Paidi, Sumi beserta rombongan pembawa keranda, tiba di liang lahat yang belum lama digali.

Sebuah liang kubur yang berada jauh dari gerbang masuk pemakaman, tepatnya di ujung pemakaman, mendekati hutan berangas.

Melihat Sumi yang masih menangis namun memaksa untuk ikut ke pekuburan anaknya, Pak RT merasa iba.

“Diikhlaskan nggih bu,” kata Pak RT.

Angin semilir mengikuti pemakaman malam itu. Dingin menusuk tulang membuat beberapa pelayat menggigil kedinginan. Bersama dengan keluarga yang berduka, hanya ada 13 orang yang ikut serta dalam pemakaman Ningrum dan Rahma.

Tak ada yang aneh ketika jasad Rahma diturunkan ke dalam liangnya. Namun nampaknya, tak hanya manusia yang ikut dalam pemakaman kali ini. Saat papan kayu mulai ditata miring di liang lahat, terdengar suara tawa seorang perempuan. Terdengar dekat, namun serasa jauh.

“Hihihi..” suara tersebut masih berlanjut.

Semua yang hadir di pemakaman terdiam beberapa detik, hingga salah satu pemuda yang berada di dalam lubang kubur berteriak.

Woohh opo kae? Jancuk!” teriak pemuda tersebut. Rohmat, nama pemuda itu, melirik teman sebelahnya yang masih terdiam. Ia memberi aba-aba untuk segera mempercepat prosesi pemakaman karena masih ada satu jasad yang harus mereka kebumikan.

Setelah suara cekikikan ganjil di tengah kuburan, semuanya kembali normal hingga Rahma selesai dikuburkan secara sempurna. Namun, peristiwa ganjil seperti tak berhenti mengiringi mayat Ningrum yang mulai dimasukkan ke kuburnya. Sayup-sayup terdengar suara tangisan, tak jauh namun juga tak dekat. Suara tangis perempuan tersebut bertahan hingga beberapa detik.

Kali ini para pelayat benar-benar teralihkan oleh suara tangisan yang entah dari mana asalnya. Sementara itu, tiga pemuda yang berada di liang kubur hampir ambruk saat masih memegangi mayat Ningrum yang sudah terbungkus kafan. Ketiganya meringis ketakutan.

“Udah, jangan takut. Kuwi mau mung wong iseng,” ujar Pak RT menimpali. Tapi sepertinya sang sumber suara tak setuju dengan ucapan Pak RT. Suara tangisan berubah menjadi cekikikan beruntun menghantui pelayat di pemakaman.

“Pak, kok ngeten niki. Duh Gusti, paringi Ningrum khusnul khotimah, Gusti,” ucap Sumi sambil bersimpuh di sebelah suaminya. Paidi masih cukup shock dengan suara-suara aneh di sekitarnya.

Sementara, saat mayat sudah ditutup dengan papan kayu, tiba-tiba angin kencang menyeruak rombongan pelayat. Semakin kencang, disambut dengan suara cekikikan perempuan yang terdengar jauh.

Allahu akbaar, allahu akbaar,” Pak RT menggemakan takbir.

Namun angin justru semakin kencang. Papan kayu yang sudah terpasang di atas mayit ikut berterbangan. Semua orang kebingungan.

Tapi tak bertahan lama, angin berhenti begitu saja. Ketiga pemuda yang berada di lubang mayit bernafas lega. Mereka keluar dari lubang, bermaksud untuk mencari papan yang berterbangan untuk ditata kembali.

Rohmat beberapa kali menyenteri tanah di sekitarnya, matanya menyipit. Bukannya menemukan papan yang dicari-cari, ia justru berkali-kali menemukan nisan. Ia terus menelusuri sekitarnya, tak sadar Ia sudah mencapai ujung lain dari pemakaman umum desanya.

Wah lha kui, kok mencelat adoh temen to. Setan jancuk pancen!” umpatnya.

Saat Rohmat mau mengambil kayu di depannya, Ia tak sadar dari sebelah kirinya muncul sosok hitam dengan tinggi hampir tiga meter. Matanya yang merah pekat menggambarkan kemarahan yang luar biasa.

Menyadari ada yang memperhatikannya di belakangnya, Rohmat memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Namun kosong, tak ada apa-apa di belakangnya. Ketika ia kembali menolah ke depan, tepat di depannya, wajah hitam dengan taring panjang menyambut Rohmat.

Matanya merah menyala, pupilnya seperti mau keluar dari lubang tengkoraknya sendiri. Membelalak ke arah muka rohmat yang hanya berjarak beberapa centi.

Rohmat tak mampu bergerak sedikitpun, tubuhnya membeku. Hingga suara sahutan dari kejauhan memanggilnya, menyadarkan kembali kesadaran Rohmat yang sempat hilang beberapa saat. Ketika sadar, makhluk hitam yang ada di depannya sudah lenyap.

Cerita Selanjutnya, Dendam Arwah Kendat dan Tiga Gundukan di Tanah...

Ilustrasi [Yudi Sutanto]
Iklan